Oleh: H. J. Faisal (Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI) MediaBantenCyber.co.id - (MBC) Jakarta, Kegagalan Era Reformasi. Ketika proses reformasi berlangsung pada tahun 1998, saya masih menjadi seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, dan sedang berada di semester 6 fakultas ekonomi. Sebagai pribadi yang mengalami langsung peristiwa penggulingan kekuasaan Presiden Soeharto pada waktu itu, saya masih teringat bagaimana mencekamnya peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat proses penggulingan kekuasaan tersebut.
Bahkan peristiwa mencekam tersebut harus dibayar dengan melayangnya nyawa 4 orang mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Belum lagi puluhan mahasiswa lainnya yang mengalami luka-luka akibat penanganan yang represif dari oknum apparat kepolisian dan oknum TNI pada waktu itu.
Namun setelah 25 tahun bergulir, sejak ide besar reformasi dikumandangkan di negeri ini pada tahun 1998 yang lalu, banyak para pelaku peristiwa reformasi dan para pengamat politik, ekonomi, dan hukum, serta pendidikan, yang menganggap bahwa reformasi yang terjadi selama ini masih belum sesuai dengan apa yang dicita-citakan pada awalnya.
Para pengamat tersebut mempunyai kesamaan pendapat, bahwa seharusnya refiormasi yang berusia seperempat abad tersebut, sudah dapat menghasilkan keadaan bangsa dalam segala bidang kehidupan menjadi lebih baik. Tetapi pada kenyataannya, jauh panggang dari api.
Meskipun sudah keluar 12 Tap MPR pasca reformasi sejak tahun 1998 yang lalu, yang bertujuan untuk membuat garis koridor reformasi agar tidak keluar dari jalur tujuan yang sebenarnya, namun pada kenyataannya, keadaan Indonesia justru malah kembali kepada keadaan seperti zaman orde baru dulu, bahkan lebih parah. Kondisi perekonomian rakyat Indonesia yang semakin menurun, ketidakjelasan konsep sistem pendidikan bangsa, merubah hukum positif yang berlaku hanya demi kepentingan kelompok dan golongannya saja, dan pengekangan kebebasan rakyat dalam mengemukakan pendapat yang benar, dengan jerat pasal-pasal 'karet' dalam UU ITE, dan lain sebagainya.
Padahal secara rinci, menurut ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998, reformasi bertujuan mewujudkan pembaharuan di segala bidang pembangunan nasional, terkhusus bidang ekonomi, politik, hukum, pendidikan dan agama serta sosial budaya.
Secara teknis, tujuan reformasi yang dikumandangkan tersebut adalah sebagai berikut:
- Menangani krisis ekonomi dalam waktu sesingkat mungkin, terkhusus untuk menghasilkan stabilitas moneter yang tanggap terhadap pengaruh global serta pemulihan aktivitas usaha nasional.
- Mewujudkan kedaulatan rakyat di seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui peningkatan dan perluasan partisipasi politik rakyat secara tertib guna mewujudkan stabilitas nasional.
- Menegakkan hukum sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan HAM menuju terciptanya ketertiban umum dan perbaikan sikap mental.
- Meletakkan dasar-dasar kerangka dan kegiatan reformasi pembangunan agama dan sosial budaya dalam mewujudkan masyarakat madani.
Tidak perlu pemikiran yang terlalu berat memang, untuk menilai bahwa reformasi yang menggema sejak 25 tahun yang lalu tersebut, tidak menghasilkan hasil yang diharapkan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Padahal lahirnya era reformasi ini bertujuan untuk mengubah segala bidang yang menyimpang pada masa orde baru atau sebelum tahun 1998.
Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya, diantaranya:
Pertama, reformasi yang terjadi pada tahun 1998, adalah sebuah bentuk reformasi yang dipaksakan, dan tidak mempunyai konsep yang jelas tentang apa yang ingin direformasi, bagaimana cara mereformasinya, dan siapa manusia-manusia Indonesia yang mempunyai kompetensi untuk memipin dan menggerakkan reformasi tersebut.
H. J. Faisal
Semua tokoh yang berkumpul pada waktu menyuarakan reformasi, ternyata hanya sibuk untuk menyusun kekuatan pribadi dan kelompok atau partainya masing-masing. Tidak ada persatuan yang sejati pada waktu itu, yang ada hanya kepentingan sejati masing-masing pihak, yang sama-sama merasa berhak atas hasil penggulingan Presiden Suharto pada waktu itu.
Kedua, reformasi yang dilakukan selama 25 tahun ini, sejatinya hanya merefleksikan sifat asli mental manusia Indonesia, yaitu malas berpikir tentang bagaimana seharusnya menjadikan Indonesia lebih baik. Artinya, tidak ada perubahan mental dan akhlak yang terjadi. Yang terjadi justru mental manusia Indonesia yang semakin lembek, dan akhlak yang semakin hancur.
Keadaan tersebut terjadi justru dikarenakan hilangnya keteladanan dari para tokoh pemimpin reformasi. Para tokoh tersebut justru memperlihatkan bagaimana mereka saling berebut kekuasaan, bebas membuat peraturan-peraturan baru yang sebenarnya justru memberi celah dan ruang bagi mereka sendiri untuk bisa 'bermanuver' agar terbebas dari jeratan hukum dan dapat memberi keuntungan bagi kelompok dan golongannya masing-masing.
Ketiga, rakyat yang pada awalnya sebagai corong dan pendorong reformasi, ditinggalkan begitu saja. Harapan rakyat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dengan menaruh kepercayaan kepada para tokoh reformasi tersebut, menjadi hilang. Persis seperti mendorong mobil yang mogok, setelah mobil dapat berjalan kembali, para pendorong mobil tersebut ditinggalkan begitu saja, dan sialnya lagi, malah mendapatkan asap hitam dari mobil mogok tersebut.
Keempat, para tokoh reformasi yang dahulu gagah dalam mengajukan proposal reformasi kepada rakyat Indonesia, ternyata tidak memiliki Grand Strategy yang jelas dalam konsep pembagunan bangsa ini, dalam balutan reformasi tersebut. Maka tidak heran jika pelaksanaan pembangunan bangsa dalam kurun waktu 25 tahun pasca reformasi menjadi proyek pembangunan yang tabrak sana-tabrak sini.
Semuanya dilakukan atas pesanan investor pemilik modal, tanpa melihat apa dampak negatif yang akan ditimbulkan dari proyek-proyek pembangunan tersebut, seperti perusakan lingkungan, tergusurnya rakyat dari tanah kelahiran mereka, dan hilangnya mata pencaharian rakyat.
Dengan demikian, artinya ada pembohongan besar-besaran yang dilakukan oleh para tokoh reformasi tersebut kepada rakyat Indonesia. Rakyat yang tadinya dijanjikan akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik jika kekuasaan presiden Suharto digulingkan, tetapi justru malah bertambah sengsara selama 25 tahun pasca reformasi ini.
Bahkan sampai era kepemimpinan rezim pemerintahan saat ini, kondisi kehidupan rakyat Indonesia justru semakin memburuk dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan permasalahan sosial lainnya. Menurunnya kualitas hidup dan kehidupan rakyat Indonesia menjadi sangat terasa. Jurang perbedaan yang terbentuk antara rakyat yang berpenghasilan tinggi dan rakyat yang berpenghasilan rendah pun semakin jauh jaraknya. Ketimpangan-ketimpangan sosial inilah yang membuat kualitas sumber daya manusia Indonesia menjadi semakin terperosok. Jangankan memiliki daya saing di dunia Internasional, untuk saling bersaing secara adil di dalam negeri sendiri saja, rakyat Indonesia sudah tidak mampu.
Permasalahan ekonomi makro dalam negeri yang seharusnya juga sudah tidak perlu lagi ada masalah, justru malah semakin sulit dalam mencari jalan keluar dari segala macam permasalahannya, seperti permasalahan hutang negara yang semakin menggunung, bagaikan tumpukan sampah yang ada di daerah Bantargebang Bekasi sana.
Belum lagi maraknya hobi korupsi yang terus dilakukan oleh para oknum pejabat pemerintahan, juga ketidakmampuan rezim pemerintah yang bergiliran dari waktu ke waktu untuk menaikkan nilai mata uangnya sendiri di kancah perekonomian Internasional. Dimana terlihat dengan jelas penurunan nilai mata uang rupiah yang semakin terjun bebas dalam kurun waktu 3 tahun belakangan ini.
Ditambah lagi cengkraman para pengusaha hitam yang selalu berada di belakang para oknum pejabat, yang selalu membiayai semua kepentingan mereka dengan cara menyuap para oknum pejabat yang selalu 'haus' dan 'lapar' tersebut.
Masalah pendidikan yang juga seharusnya sudah selesai dengan menghasilkan kurikulum berkualitas Internasional, Grand Design dan Blue Print pendidikan yang baik dan terarah, dan sistem pengangkatan status guru yang berkeadilan, justru kebijakannya malah semakin 'tabrak sana tabrak sini' tidak karuan selama 25 tahun terakhir ini, persis seperti seseorang yang baru belajar mengendarai mobil di jalan raya, yang terkadang membuat ngeri para pengendara lainnya.
Apalagi kedaulatan rakyat dalam berpolitik yang kini malah 'diserahkan secara sukarela' kepada partai-partai politik yang ada, membuat keberadaan demokrasi di negara ini semakin jungkir balik. Hasilnya adalah naiknya wakil-wakil rakyat yang tidak kompeten di ranah legislatif, dan pejabat-pejabat publik yang tidak memiliki kapabilitas samasekali di ranah eksekutif.
Kedaulatan politik rakyat kini semuanya telah diserahkan kepada partai politik melalui proses transaksional yang nilainya sangat fantastis. Artinya, jika ada uang, maka siapapun dapat menjadi anggota legislatf, dan jika uangnya lebih banyak lagi, maka dia akan kebagian jatah 'kue' kekuasaan di tingkat pusat.
Saatnya Ber-Transformasi
Kata reformasi sendiri tersusun atas dua kata, yakni re yang berarti kembali, dan formasi berarti susunan. Maka era reformasi dapat dikatakan sebagai era yang menyusun kembali. Perihal yang disusun kembali dalam era ini adalah sistem pemerintahan negara Indonesia.
Jika demikian, maka sebaiknya bangsa ini sudah saatnya mengakhiri istilah era reformasi, dan mulai menggantinya dengan era transformasi.
Mengapa demikian?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata transformasi adalah perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya). Ini artinya ada sebuah perubahan yang lebih mendalam di dalam sebuah proses tranformasi, dibandingkan dengan proses reformasi. Proses transformasi berusaha mengubah diri dalam bentuk kondisi karakter atau sifat melalui proses metamorfosa secara bertahap dari hal-hal yang tidak baik menjadi lebih baik.
Jadi, jika dalam proses reformasi hanya menitikberatkan kepada perubahan sistemnya saja, maka proses transformasi lebih menitikberatkan kepada perubahan dari dalam, yaitu perubahan melalui subjek atau pelaku utama perubahan tersebut (sang aktor atau sang transformer).
Jika demikian, maka yang menjadi pertanyaan besarnya saat ini adalah, apakah dengan melakukan transformasi subjek atau aktor, maka sistem yang seharusnya berjalan dengan ideal, akan menjadi lebih baik?
Jika ya, maka itu artinya adalah bahwa reformasi yang selama 25 tahun belakangan ini selalu didengungkan oleh rakyat Indonesia, menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya dikarenakan mempunyai "faktor-faktor penghambat" yang tidak lain dan tidak bukan justru berasal dari manusia-manusia Indonesia itu sendiri.
Ini berarti juga bahwa kemajuan bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara tertutup oleh keburukan-keburukan sifat dan sikap dari manusia-manusia Indonesia itu sendiri.
Bahkan di dalam Islam, seorang pembaharu dan pemikir Islam kontemporer, yaitu syeikh Muhammad Abduh (1849) pernah menyatakan bahwa, " Al Islamu mahjubun bil muslimin ", yang artinya Islam tertutup oleh umat Islam. Cahaya keindahan Islam tertutupi oleh perilaku buruk ummat Islam itu sendiri yang sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam.
Begitupun dengan kondisi reformasi bangsa ini. Kebaikan-kebaikan reformasi yang seharusnya ada dan dirasakan oleh rakyat Indonesia sejak 25 tahun yang lalu tersebut, menjadi hilang karena perilaku manusia-manusia Indonesia itu sendiri, terutama para pejabat pemegang kekuasaan di pemerintahan, baik di ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang tidak memahami apa arti penting dari sebuah proses reformasi yang pernah terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Sudahlah tidak memahami apa arti penting reformasi tersebut, tetapi dengan bangganya masih tetap menyebut diri mereka dan kelompoknya sebagai reformis sejati. Aneh sekali, bukan….?
Adapun 'faktor-faktor penghambat' yang berasal dari buruknya sifat dan sikap manusia Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini pernah disuarakan jauh sebelum proses reformasi 1998, oleh budayawan terkenal Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan yang beliau pernah sampaikan di Taman Ismail Marzuki pada 6 April 1977.
Mochtar Lubis pernah mengemukakan, setidaknya ada 6 ciri tipikal manusia Indonesia yang sangat khas, yaitu:
- Hipokritis dan munafik
- Tidak pernah mau bertanggung jawab atas perbuatannya
- Berjiwa feodal
- Mempercayai takhayul
- Artistik (berjiwa seni)
- Mempunyai watak serta karakter yang lemah
Mungkin jika saya tambahkan satu lagi ciri manusia Indonesia di tengah majunya teknologi informasi dan media sosial saat ini adalah, ilmunya nol, jika mendengar hanya seperempat, memahami sesuatunya hanya setengah-setengah, tetapi jika berbicara bisa dua kali lipat, alias merasa paling tahu segalanya.
Maka dari itu, dengan melakukan proses transformasi diri yang konsisten, maka diharapkan manusia-manusia Indonesia dapat memperbaiki diri, memperbaiki sifat, dan menyadari fungsinya sebagai manusia beradab yang mempunyai tanggungjawab terhadap Tuhan-nya, bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, bertanggung jawab terhadap orang-orang yang memang berada di bawah kepemimpinannya, bertanggungjawab terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, dan bertanggungjawab terhadap bangsa dan negaranya. Dengan demikian, maka faktor-faktor penghambat tersebut dapat dihilangkan.
Terdengar sangat naif, memang. Tetapi itulah cara untuk bertransformasi dengan benar, demi terciptanya era baru berbangsa dan bernegara yang lebih cerdas dan lebih beradab, era transformasi. Wallahu'allam bisshowab.(BTL)
No comments:
Post a Comment