utariaswinda posted: " "Liat deh ka, Ada konten terbaru dari Ci Feli di Instagram Reelsnya" "Oya, bahas Apa?" "Bahas biaya sekolah anak sama Annisast..wkwkwk" "Mana sini aku liat" Dan wajah suami pun menciut kesal. "Waduh, gak bagus banget Feli bikin konten begi" Diary Curhat Mamak Rempong Sok Bijak - Shezahome.com
"Liat deh ka, Ada konten terbaru dari Ci Feli di Instagram Reelsnya"
"Oya, bahas Apa?"
"Bahas biaya sekolah anak sama Annisast..wkwkwk"
"Mana sini aku liat"
Dan wajah suami pun menciut kesal.
"Waduh, gak bagus banget Feli bikin konten begini. Bikin orang tua lain pada insecure"
"Ealah.. Bukan disitu pointya kaliiii" Ketusku menengahi
Akupun berbicara lebih detail dengan suamiku tentang perjalanan Annisast menyekolahkan anaknya, gimana kondisi ekonominya dahulu dll. Aku juga cerita tentang gimana mindset para orang tua lain. Pada akhirnya kami bisa menyatukan persepsi setelah sekian lama diskusi dan debat panjang tentang 'sekolah mahal'.
Sekolah Anak Mahal? Memang akan Menjamin Kesuksesannya di Masa Depan?
Siapa sih win Ci Feli itu?
What? Kalian belum kenal sama Felicia Putri Tjiasaka? Waduh. Kalian harus kenalan. Karena aku banyak belajar tentang finansial dari dia dibanding mbak Prita Ghozie. Kalau Prita Ghozie banyak ngajarin tentang manage keuangan maka Ci Feli yang ngajarin aku tentang selak beluk investasi, terutama reksadana plus saham. Ci Feli juga bikin insight aku terbuka bahwa investasi itu bukan soal untung tapi tentang menyesuaikan dengan profil risiko kita sendiri. Wah, pokoknya banyak belajar dari beliau. Aku awal kenal dengan beliau lewat konten reksadana seriesnya di youtube.
Teruss.. Kenapa akun financial demikian nyemplung ke parenting kamu win?
Ya karena dia ngebahas biaya sekolah anak sama Annisast. Ya tentu aja aku gatell pengen ikut nimbrung. Haha. Tapi as always ya, aku tuh agak males komentar di konten orang, termasuk orang yang aku follow. Aku lebih suka nulis kontenku sendiri, entah itu di instagram story atau blog begini sambil kepo lama sama komentar-komentar netizen. Wkwk.
Ada salah satu komentar menarik di reelsnya Ci Feli yang juga dia sematkan. Komentar ini serupa dengan sedikit komentar suamiku dan mungkin juga serupa dengan komentar orang tua lainnya.
Komentar ini adalah komentar yang lumayan seru karena banyak netizen yang membenarkan. Ada pula yang meluruskan dll. Wah, pokoknya seru. Haha. Intinya komentar tersebut meluncur demikian karena statement dari Annisast ketika ditanya Ci Feli:
"Apakah sekolah anak mahal menjamin masa depannya akan sukses?
"Ya namanya orang tua pastinya pengen yang terbaik buat anaknya. Masalah di masa depan dia sukses atau enggak itu tergantung dari orang tuanya masing-masing" - Annisast.
Ya Netizen be lyke…
"Lah.. pinter bener tinggal ngelempar tergantung orang tuanya. Sekolah itu Kan udah 50% dari waktu yang dihabiskan per hari. Bla bla"
Aku yang awalnya merasa "Betul sih kata Annisast" malah jadi ikutan kepo juga tentang gimana sih mindset orang yang berpikiran begini. Iya, tahu tentang gimana perilaku orang tentang suatu hal adalah apa yang aku lakukan pada 'jam istirahat' kerjaanku sehari-hari. Biarin ah orang bilang gak ada kerjaan kepo tentang komentar orang tapi bagi aku seru loh liat fenomena sosial itu.
Karena orang bilang demikian kan pasti ada 'ceritanya'. Mungkin yang berkata demikian merasa sekolah begitu banyak menyumbang kesuksesannya dibanding peran orang tuanya di rumah. Bisa aja kan begitu ya kan.
Sama halnya dengan suamiku yang bilang gini.. "Sekolah itu mau dimana aja yang terpenting adalah gimana ortu mendidik dan mengarahkan anaknya. Peran sekolah tuh cuma sekian persen. Peran dari dalam itu tetap saja dari orang tua sendiri"
Suamiku bilang demikian juga karena dia punya cerita sendiri tentang pengalaman hidupnya.
Membaca satu per satu komentar netizen, Aku jadi ikut membenarkan komentar dibawah ini loh.
Kok ngeri sekali orang tua zaman sekarang suka 'lempar' 100% pendidikan anak ke sekolah hanya karena waktu anak lebih banyak di sekolah. Padahal, selain pendidikan dari sekolah, anak sangat butuh orang tuanya. Butuh bercerita pada orang tuanya, butuh bimbingan tentang minat dan bakatnya, bahkan butuh didikan lebih untuk membangun 'habbit'. Sedih rasanya kalau ketika anak di sekolah 'sudah dibimbing sekian rupa' oleh gurunya. Ketika di rumah anak tak perhatikan emosinya, curhatannya atau lainnya. Kita malah sibuk melayani kebutuhan materialnya tanpa paham apa isi hati anak sebenarnya.
Well, Thats is.. Akar materialisme.
Iyakan, memikirkannya saja jadi ngeri. Terus kalau semua orang tua punya mindset demikian. Masa depan apa yang akan ada pada diri anak? Orang tua hanya berharap dengan memasukkan anak ke sekolah mahal maka anak suatu saat akan menjadi 'orang berdasi' atau 'orang berduit banyak' tanpa memoles jiwa n value dari anak. Masa depan apa yang kita harapkan jika kita hanya memoles anak dari sesuatu berdasarkan harga dan nilai diatas kertas saja.
Maka, menurutku benar kata Annisast kalau.. "Kita itu sebagai orang tua tentu mengusahakan yang terbaik buat anak. Termasuk soal sekolah. Masa depan anak tergantung pada orang tuanya."
The point is.. Mau apapun sekolahnya.. Tetaplah menjadi orang tua yang 'berusaha maksimal' dan hadir untuk anak.
Aku percaya sih, sukses itu dari banyak faktor. Bukan hanya dari sekolah tapi banyak dari hal lainnya. Tapi 'biasanya' yang menyumbang peranan terbesar adalah 'kegigihan orang tua', doa, dan tentu saja keinginan dan usaha anak. Trigger dari lingkungan pun bahkan peranannya cukup besar. Maka, jika orang tua ingin mencari lingkungan dan pendidikan terbaik untuk anaknya.. Termasuk memasukkan ke 'sekolah mahal'... Well, Apa yang salah?
Persepsi 'Sekolah' ala Suami
"Anak yang disekolahkan mahal-mahal itu belum tentu sukses kok. Contohnya aku nih.. Bla bla…"
Siapa yang bilang gitu? Itu tuh… Suami aku.. LOL
Well, aku mau cerita kalau suami aku itu lahir di orang tua yang punya keyakinan, "Banyak anak, banyak rejeki"
Suami aku itu punya 8 sodara. Suami aku anak ke 4. Ayahnya suamiku kerja sebagai PNS, sementara ibunya adalah IRT. Tapi, ibunya juga berusaha menambah pemasukan keluarga dengan memasak. Sempat berjualan, sering juga membuka pesanan makanan untuk kawinan dan undangan lainnya request dari tetangga. Dulu beliau juga nganterin makanan ke kos-kosan mahasiwa. Jadi ya secara finansial sebenarnya 'keduanya bekerja'. Pemasukan untuk kebutuhan sehari-hari hingga biaya lainnya memakai sumber uang itu. Dan sebenarnya…
Itu gak cukup.
Makanya suami aku 'berempati' dengan keadaan finansial keluarganya. Karena dia tau kakaknya masih sekolah/kuliah plus belum kerja dan adeknya banyak. Sejak SD suamiku inisiatif sendiri mengajukan beasiswa dan itu berlangsung sampai kuliah S2. Suamiku itu Beasiswa hunter.
Jadi kalau meneladeni suami, rumus kesuksesannya itu adalah: Empati pada orang tua ditambah empati pada saudara tambah lagi trigger kerja keras belajar demi sukses ambil beasiswa ditambah lagi semangat dari 'setumpuk buku koleksinya'.
Apa itu sekolah mahal? Suamiku masih gak habis pikir kalau ada orang tua yang menghabiskan sekian ratus juta per tahun buat SPP anak demi SATU ANAK bisa sukses. Sementara kalau buat dia, uang sebanyak ratusan juta itu bisa buat nyekolahin adeknya, biaya pensiun mamanya, sampai bikin ini dan itu.
"Kenapa musti keluarin banyak uang demi satu hal kalau bisa untuk banyak hal"
Demikianlah mindset yang ada pada suamiku. Haha.. Dan tentu saja aku tidak bisa menyanggah persepsi demikian karena…
Sebenarnya kami mirip-mirip saja LOL..
Suamiku itu tipikal koleris-melankolis, sedangkan aku melankolis plegmatis. Satu hal yang sama banget dalam konsep pemikiran kami adalah kami begitu menghargai uang karena kami sama-sama sarjana akuntansi. Ckck. (Suamiku itu mantan asisten dosenku btw)
Aku sih setuju saja dengan mindset suami bahwa uang itu harus 'rata pemberdayaannya'. Thats why, aku oke-oke aja dulu menuruti persepsinya. Saat ekonomi kami sedang 'merintis' diawal pernikahan. Prioritas kami saat itu adalah memiliki rumah. Anakku Pica yang langsung hadir pasca setahun menikah pun mengikuti rintisan ekonomi keluarga kami. Dari yang awalnya hanya membeli rumah yang terbilang perlu banyak renovasi sampai akhirnya rumah kami sangat layak huni, berkembang jadi perusahaan IT dan pindah kantor ke yang lebih besar. Semuanya, berkat usaha kami mengatur uang dengan baik. Memprioritaskan mengembangkan usaha dibandingkan biaya anak.
Memilih Sekolah Itu Harus Sesuai Kemampuan
Lanjut ngomongin soal ekonomi. Suamiku adalah seorang PNS, sedangkan aku memutuskan menjadi IRT saja sejak Pica hadir dalam hidup kami. Gajih PNS seorang dosen saat itu sebanyak 3,7 juta rupiah. Dimana 1,7 juta habis untuk biaya kredit rumah dan sisa 2 juta rupiah untuk hidup sehari-hari.
Aku mendapat jatah 1,5 juta sebulan dari kami punya rumah sendiri. Sebelumnya, aku menumpang di rumah mertua. Sisa 500rb itu untuk sangu suami 1 bulan. Suami mendapatkan uang extra (gajih ke 13) setahun sekali. Namun, tidak diberikan kepadaku karena suami juga merasa memiliki kewajiban pada adik-adiknya dan ibunya. Jadi biasanya dalam setahun aku akan mendapatkan gajih ke 13 sebanyak 500ribu.
Selain PNS suami juga membuka usaha IT di rumah. CV share sistem namanya. Usaha itulah yang akhirnya bisa menyejahterakan ekonomi keluarga kami. Kami akhirnya bisa menabung, merenovasi rumah, membangun kantor, mempekerjakan 8 pegawai tetap. Hingga usaha itu berubah menjadi PT Inovasi Informatik Sinergi dan ingin menjangkau pasar yang lebih luas. Kami merasa sangat perlu memprioritaskan perkembangan usaha ini dibanding segalanya. Karena ada sekian pegawai yang menggantungkan hidupnya pada kami. Dan usaha ini telah membuat pernikahan kami memiliki makna lebih.
Untuk pengembangan usaha itulah, aku tak mau mengeruk semua profit hanya untuk keluarga kami. Jatah bulananku dari yang awalnya 1,5 juta, 2 juta, 3 juta hingga menjadi 4,5 juta sejak usaha ini mulai maju. Sementara kami memerlukan biaya 30 juta perbulan untuk pengembangan usaha. Suami juga perlu memberi uang pada keluarganya. Untuk profit, perusahaan kami masih tak menentu. Rata-rata pendapatan tetap bulanan sebanyak 50 juta. Tapi pendapatan tak terduga.. itu beda cerita. Masih banyak hal yang ingin kami kembangkan dan itu perlu…
Cuan..cuan..cuan..
Maka, kami sepakat bahwa menyekolahkan anak memang penting. Tapi mungkin 'bagi kami' urgensinya lebih penting mengembangkan perusahaan. Karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Etdah kenapa jadi pidato.
FYI, dari jatah 4,5 juta perbulan itu. Aku menggunakan 2,5 juta untuk kebutuhan pokok. Sementara 1 juta sebulan aku sisihkan untuk tabungan pribadiku yang ingin sekali aku pakai untuk 'investasi belajar', aku menunggu uangnya terkumpul supaya aku bisa segera eksekusi. Sisanya budget 500ribu untuk anak pertamaku Pica dan anak keduaku Humaira. 250ribu aku jadikan 'nabung rutin' di Reksadana untuk biaya pendidikan anak-anakku. Dan sisanya sebanyak 250ribu lagi untuk biaya 'foya-foya'. Semacam biaya untuk makan diluar bareng keluarga atau biaya jajan renyah.haha
Well, mungkin ada yang bertanya apa iya cukup 2,5 juta sebulan buat makan 4 orang. Tentu saja cukup. Apa perlu aku tulis diblog bagaimana caranya? Hihi.
Mungkin juga ada yang bertanya, Bukannya Humaira masuk daycare? Nah, biaya daycare Humaira itu tanggung jawab suami. Termasuk biaya hosting blog ini. hihi.
Menurut keluarga kami pribadi, sangat penting loh untuk menyesuaikan kemampuan ekonomi dan sekolah anak. Kami sendiri sepakat menyekolahkan Pica di SD Negeri saja. Sppnya free dan budget untuk Pica bisa kami alihkan ke hal lain. Seperti les coding, ikut karate, mengasah skill lain diluar sekolah. Jadi, Bukan karena kami pelit. Tapi kami lebih memprioritaskan biaya pendidikan masa depan. Mungkin semacam uang kuliah di luar pulau atau luar negeri (Aamiin anak bisa sekolah disini kelak) itu mahal (menurut kami) dan kesejahteraan ekonomi kami itu chartnya tidak seperti RDPU Yang selalu meningkat, tapi seperti saham.. ada pasang surutnya.. itulah mental seorang pengusaha yang merintis. Kami harus utamakan money management diatas segalanya untuk bisa mengcover risiko pada usaha kami.
Orang mungkin akan mengira kami pelit pada anak karena terlihat tak mengusahakan maksimal untuk sekolahnya. Di Banjarmasin, sudah lumayan banyak kok sekolah Islam yang bagus dan bonafit. Tetapi, harganya masih membuat kami 'terkejut'. Mungkin,jika penghasilan usaha kami sudah memiliki fix return minimal 100juta perbulan kami tak akan berpikir 2x untuk menyekolahkan anak di sekolah yang bagus. Tapi, karena usaha kami masih merintis dan masih harus dikembangkan maka kami jauh memprioritaskan uang untuk perkembangan usaha.
Aku cukup salut sebenarnya dengan orang-orang yang ingin mengusahakan yang terbaik untuk anak, terutama soal sekolah. Bahkan ada yang biaya SPP anak SD nya sama dengan biaya gajihnya satu bulan. Katanya, "SD Islam itu bagus. Tak seperti SD negeri yang anak-anaknya suka ngomong kotor" . Well, aku menatap anakku sendiri yang sekolah di SD Negeri. Ya rada-rada banyak sih yang demikian. Hehe.
Lambat laun orang tersebut sering mengeluh di sosial media. Apalagi suaminya sering mengeluh kalau SPP anaknya kemahalan. Lantas menyuruhnya ikut membantu bekerja karena sebetulnya uang bulanan tidak cukup.
Bukannya biaya sekolah dan nafkah keluarga itu kewajiban suami ya. Kenapa istri yang sudah capek kerja di rumah disuruh nyari uang juga? IRT sambil nyari duit itu Bla bla bla. Jangan bebankan biaya pendidikan anak sebagai beban..bla bla..
Sebenarnya, aku ingin sekali ikut nimbrung memberi saran. Eh tapi aku urungkan niatku. Sosmed sekarang kan mengerikan. Bisa jadi kita berniat baik membantu, malah dijudge balik. Banyak yang demikian bukan?
Jujur melihat perkembangan zaman sekarang.. Ibu-ibu zaman sekarang tuh banyak sekali yang terinfluence untuk menyekolahkan anak di sekolah mahal yang bonafit. Tapi terkadang, sering lupa dengan hal inti untuk itu. Yaitu sekolahkanlah anak sesuai kemampuan.
Jujur aku sering sedih melihat lingkunganku sendiri. Kadang, ada loh yang menghampiri suamiku atau mamaku untuk berhutang. Katanya untuk biaya susu anaknya yang masih kecil. Aku terkadang memunculkan setan di kepalaku sambil berpikir, "Loh, masih bayi kok dikasih sufor? Kenapa gak diusahakan ASI aja" ((aku aja kedua anakku ASI semua.. dan tuh kan mulai sombong.. Astaghfirullah))
Namun aku pendam perasaan demikian. Tapi saat ada ibu-ibu yang ingin berhutang untuk SPP anaknya yang sekolah mahal sementara anak kami saja sekolah di SD Negeri biasa itu seperti.. hmm.. apa ya apa ya… tak terlukiskan deh perasaannya. Diriku yang kedua serasa ingin memberikan ceramah terkait finansial.
Kalau Bahkan untuk hidup saja sulit, tidak punya asuransi minimal BPJS, tidak punya dana darurat, bahkan tuntutan dan gaya hidup juga tidak bisa 'ngerem' kenapa sih pilih sekolah mahal untuk anak? Karena orang sekitar bisa memberikan empati? Itulah yang ada dipikiranku. Judge me ya karena berpikir demikian tapi kenapa ya aku kok dongkol sama orang yang tak bisa mengontrol pengeluaran sesuai dengan keadaannya demi yah…hmm..
Kalau teladan ibu-ibu zaman sekarang adalah seorang Annisast maka seharusnya mereka juga harus tau bahwa pemasukan Annisast itu juga meningkat. Mbak Annisast selalu usahakan kontrol diri diatas segalanya. Pengeluaran sekolah anaknya itu kan memang seimbang saja dengan pemasukannya. Dan Mbak Annisast gak pernah loh ngutang demi bayar SPP anak. Semua sudah diperhitungkan dari dana darurat, asuransi, biaya pendidikan, investasi.. lah.. kalau mau ikut gaya Influencer keren kenapa yang ditiru hanya setengah-setengah? Yang ditiru pun yang tak sesuai dengan kemampuan. Hmm..
Astaghfirullah aku membaca ulang bagian tulisan ini kenapa jadi agak sedikit julid ya. Dan parahnya aku tak mau menghapus. Mungkin mau realese curhat.hihi.
Semoga yang ngutang baca.. aduh jahat amat ya aku.
Debat Soal Sekolah Anak dengan Suami
Hal yang paling gak aku suka dari suamiku dulu tuh adalah dia selalu membandingkan kehidupannya diatas kehidupan anak-anaknya.
"Masa biaya anu aja segitu. Aku dulu… bleh bleh"
"Ya pas aja lah sangu anak segitu.. aku dulu bleh bleh."
Jujur, pernah bertengkar hebat gara-gara ini. haha..
Aku tuh nyimak loh semua cerita suami. Aku paham hidupnya berat. Aku tau hidup berat demikianlah yang membentuknya seperti sekarang. Tapi masa iya kehidupan anak-anak kami mau dibentuk persis seperti dirinya. Sedangkan zaman pun berkembang. Sedangkan ekonomi kami tak seperti dulu. Sudah jauh lebih baik.
Konten Felicia yang kami tonton beberapa hari lalu seakan membangkitkan moment diskusi sekian waktu yang lalu. Dan kemudian aku memutuskan untuk berdiskusi kembali soal pro dan kontra 'sekolah mahal'.
Aku memulai diskusi dengan amat sangat soft. Memulai dengan menceritakan film Enola Holmes, dimana si Ibu mendidik sendiri anaknya (tapi kan punya banyak pembantu..hihi), Aku bahkan bercerita tentang Film Game of Thrones dimana klan Stark juga memiliki banyak anak yang pendidikannya bagus namun semua juga diajari oleh guru yang bagus plus juga Ayah dan Ibu yang ikut serta berperan. Sampai kemudian ceritaku berbelok ke Anime Magi. Yang tokoh utamanya adalah seorang anak haram raja yang lahir diluar kehidupan kerajaan namun memiliki mindset lebih maju.
Dari sekian story telling pembukaku. Ada satu yang ingin aku luruskan bahwa apapun lingkungan anak, baik terlihat elite maupun tidak.. Peran orang tua itu nomor satu. Dan perkara sukses secara 'material', tekanan lingkungan itu sangat mempengaruhi. Jadi kalau ingin anak yang Sholeh Solehah plus juga sukses dunia akhirat modal utamanya adalah orang tua sendiri. Note: Orang tua yang berusaha maksimal.
"Iya memang gitu. Tapi aduh.. sekolah yang kata annisast itu apa ya.. punya toilet di dalam ruangan, guru-guru dari luar negeri, punya tempat berkuda.. so.. what's the point? Value-nya apa?"
Dan aku terdiam. Kalau suami sedang ngomong begini.. Jiwa 'leadership'nya sedang dominan dan aku tak mau menyela. Dia kemudian melanjutkan kata-katanya.
"Kalau dengan penyampaian singkat demikian bisa dilihat bahwa value yang ingin ditonjolkan pada sekolah mahal itu adalah fasilitasnya. Apa pointnya melebihkan toilet yang ada di dalam ruangan? Apakah itu menjadi lebih baik dibanding toilet umum untuk satu SD? Apa gunanya anak SD punya tempat berkuda? Dan guru-guru luar yang bisa berbahasa Inggris? Itu value-nya apa?"
Haha.. sebenarnya aku sudah bisa menebak diskusi kami akan ketempat demikian. Dan ya… Bentar, suami ngomong lagi.
"Kalau fasilitas hanya bersifat memanjakan anak, itu tidak mendidik tapi melayani. Anak itu ketika sekolah diharapkan bukan tentang mendapatkan pelayanan terbaik. Tapi tentang menghargai keberagaman bergaul, beradaptasi dengan lingkungan dan fasilitas lain, dan guru yang bisa berbahasa Inggris? Kita bisa membuat anak belajar hanya dengan menonton kartun bahasa Indonesia dengan text bahasa Inggris. Perlahan anak belajar."
Well, meski terkesan agak 'gimana'. Sebenarnya perkataan suamiku ada sisi benarnya. Tapi, aku tetap tidak setuju soal kemandirian anak mungkin jadi tumpul karena fasilitas sekolah mahal. Aku yakin sih fasilitas itu sifatnya ya tetaplah sebagai memfasilitasi, bukan memanjakan. Sekolah mahal buatku tetap yay kalau seandainya budget pemasukan sudah memenuhi.
Untuk sekarang, kegiatan anak kami meski bersekolah di SD negeri biasa tetapi juga lumayan 'padat'. Jam 1 siang anakku sudah pulang sekolah. Dilanjutkan makan siang, sholat dan tidur sebentar sampai jam 3 siang. Biasanya aku memberikan waktu bermain dengan teman lingkungannya sebentar. Kemudian jam 4-6 sore anakku mengaji di TPA. Terkadang juga pada jam yang sama anakku Karate. Hari Minggu pun diisi dengan latihan karate. Malamnya, Pica latihan menggambar. Kadang dia juga membuat komik dan kami juga sering nonton kartun bersama.
Kurasa jadwal demikian saja sudah lumayan berisi untuk anak-anak seusia Pica. Beda halnya Humaira yang aku masukkan daycare dan aku jemput jam 4 sore. Jadwalnya pun butuh perbedaan. Hehe.
Menurutku pribadi, untuk anak umur kecil seusia Hum dan Pica.. Prioritas utama adalah membentuk Habbit yang positif, membangun circle pertemanan, serta menumbuhkan kesenangan. Karena itu masa kecil yang benar-benar indah dan waktu bermainnya mungkin akan terkenang selamanya. Namun, jika punya budget untuk memprioritaskan itu kesekolah mahal yhaa..why not? Selama duitnya ada dan termanajemen dengan baik. Dan tentu.. selama tidak mengeluh berlebihan lalu berhutang. *Uhuk..batuk keras
Jangan sampai ketika anak masih kecil kita sibuk sekali memasukkannya ke sekolah mahal dan terbaik tapi kemudian tak punya rencana untuk masa depannya. Tak mempersiapkan dana pendidikannya hingga tak mempersiapkan dana pensiun kita sendiri.
Karena anak.. bagaimanapun memang tanggung jawab kita.. Setidaknya secara material sampai mereka bisa mandiri. Diri kita pun adalah tanggung jawab diri kita sendiri. Seimbangkan kebutuhan mereka baik untuk masa kini.. maupun masa depan.
Ritu posted: " "Peace begins with a smile." Mother Teresa What a beautiful quote, Spidey! I'm all about the smile. That is me. When I started uni, before we all got to know one another, I was known as 'that smiley curly-haired girl from Birmingham'. An" But I Smile Anyway...
"Peace begins with a smile." Mother Teresa What a beautiful quote, Spidey! I'm all about the smile. That is me. When I started uni, before we all got to know one another, I was known as 'that smiley curly-haired girl from Birmingham'. And, even now, you will rarely see me without a smile on my […]