Perpisahan bagai setengah kematian. Ungkapan dari penulis perempuan Prancis, Marjane Satrapi tersebut, sesuai dengan isi hati Angel Laksmi.
Angel punya konsep tersendiri soal perpisahan. Konsep yang membuatnya tak suka berpamitan. Pada hal apa pun.
Mungkin semua bermula dari perpisahan ayah dan ibunya di masa kecil. Berulang kali Angel mencoba membuang semua kenangan pahit dari ingatan, sampai mendatangi psikolog, psikiater, hingga ke pakar self healing untuk mengatasi trauma. Namun tak sepenuhnya berhasil.
Traumanya tak cuma satu. Misalnya piring melayang dan meja terbalik saat pertengkaran, atau begitu banyak akhir pekan yang sunyi sesudah huru-hara rumah tangga ayah dan ibunya. Salah satu trauma yang kerap memenuhi benaknya adalah ketika suatu malam ayahnya pergi dari rumah setelah pertengkaran yang entah ke berapa kalinya. Namun kali itu bukan pertengkaran biasa yang berakhir dengan suasana dingin mencekam. Kali itu ayahnya memanggil Angel dan kedua kakaknya. Ayahnya berpamitan. "Ayah harus pergi. Kita akan tetap bertemu. Ayah akan selalu bertanggung jawab, tapi tak bisa bertahan di rumah ini lagi," suaranya tegas, sisa kemarahan di pertengkaran beberapa jam lalu. Seolah-olah ayahnya berada di rumah itu karena dirinya dan kakak-kakaknya. Ingin rasanya Angel menjerit untuk membuat ayahnya bertahan sekali lagi. Atau menggugah ibunya untuk mencegah ayahnya pergi. Namun ibunya yang sering murung dan berwajah duka, membuatnya tak tega. Namun ternyata hal yang tidak diupayakannya itu meninggalkan penyesalan panjang.
Sejak malam itu garasi kosong. Tak ada lagi mobil hitam ayahnya terparkir rapi. Angel membenci pertanyaan tetangga, kenapa ayahnya tak pernah pulang. Angel lebih membenci perasaannya yang gamang, sakit hingga ke relung jiwa, setiap malam sampai akhirnya tertidur dalam kekecewaan, dan terbangun dalam kekosongan. Saat itu Angel sering berkhayal, andai ada keajaiban yang boleh diucapkannya, Angel tak akan minta kekayaan atau kecantikan, apalagi pangeran tampan. Angel hanya meminta ayahnya kembali ke rumah dan menjadi keluarga hangat, bagai tak tersentuh prahara.
Waktu berjalan, Angel selalu berjumpa ayahnya yang menepati janji. Setiap Rabu ayahnya datang menjemput di kampusnya, lalu pergi makan ke tempat-tempat terbaru. Lalu di akhir minggu ayahnya kembali menjemputnya untuk menginap di rumah ayahnya. Kadang bersama kakak-kakaknya, seringkali sendiri karena kakak-kakaknya memilih lebih banyak waktu bersama kekasih. Masing-masing orang mencari kenyamanan. Angel senang melihat wajah ayahnya, namun hati Angel tak pernah kembali ceria, ia mengingat ibunya di rumah. Mengingat keluarganya yang terpecah. Tak ada makanan enak yang tersisa di ingatannya. Hanya senyum dan gaya bercerita ayahnya yang sering terpapar tipis-tipis dalam benaknya. Sesuatu yang ingin dikenangnya, bagaimanapun juga.
Semasa sekolah hingga bekerja, Angel menghindari acara-acara perpisahan. Sebisa mungkin ia akan menghilang. Sedapat mungkin ia elakkan. Sebab ketika mendengar dan berhadapan dengan perpisahan, jiwanya merasa kosong, dirinya merasa kecil dan hilang, atau ada rasa sedih yang paling rawan.
Angel pun enggan berpacaran, takut berakhir pada kata putus, dan ditinggalkan. Pernah pula terlintas di benaknya, tak ingin menikah, karena takut pada perpisahan. Bisa dihitung jari kedekatannya dengan orang yang disebut kekasih. Namun cinta datang tanpa diduga. Di ujung usia 27 tahun, Angel menemukan Aldo Rama, pujaan hati sedekat mimpi-mimpinya. Semua kriteria ideal hampir tercapai, karena tak bisa menyebut seseorang sempurna. Hingga Angel ringan kaki memasuki pernikahan bahagia, yang kemudian dikaruniai seorang anak sehat dan tampan, Rino Fabian.
Namun mimpi buruk itu terjadi di usia pernikahan lima tahun. Suaminya yang seorang Head of Sales di sebuah agency, jatuh cinta pada teman sekantornya. Bukan cuma sekali. Beberapa kali dengan orang-orang berbeda. Ternyata kriteria 'hampir sempurna' tak menguntungkan Angel, karena orang lain pun melihat daya tarik yang sama. Angel bertahan dua tahun hingga dayanya habis. Namun ia tetap tenang, menghindari pertengkaran panas yang pernah membuatnya trauma. Angel tak mau merenggut tawa anaknya, yang saat itu berusia empat tahun. Suaminya pun mengira, Angel memaafkannya seperti biasa.
Ternyata kriteria 'hampir sempurna' tak menguntungkan Angel, karena orang lain pun melihat daya tarik yang sama.
Hingga suatu hari, Angel mengatakan kelelahan tiap kali pulang kerja. Keluhan backpain yang sangat menyiksa. Cerita itu diyakinkan dengan kunjungan ke beberapa dokter yang menyarankan tidak boleh dulu melakukan perjalanan panjang, tapi jarak rumah dan kantor sangat jauh, ditambah kemacetan Jakarta, total bolak-balik tak jarang menghabiskan tiga jam. Bahkan suaminya diajak Angel mengantar ke salah satu dokter. Sakitnya Angel menjadi issue baru di rumah tangga itu. Aldo pun ikut mencari solusi. Beberapa obat pereda nyeri yang kabarnya andal, sering dibawakan untuk Angel.
"Rasanya obat-obat ini akan ada efek samping," kata Angel lirih.
"Iya benar juga, tapi bagaimana kamu bekerja dengan kondisi nyeri seperti itu," kata Aldo penuh perhatian.
"Sahabat saya, Irna, mau meminjamkan apartemennya yang kosong, hanya 15 menit dari kantor. Bolehkah saya sesekali menginap di sana, sampai kondisi punggung ini membaik?" tanya Angel.
"Oh, boleh juga. Iya, begitu saja. Saya akan jaga Rino di rumah. Kan kantor saya tidak sejauh kamu," jawab Aldo.
Sejak itu sesekali Angel pulang. Dari tiga hari sekali, ke empat hari sekali, sampai akhirnya hanya Jumat. Kemudian makin lama, Angel meminta anaknya beserta susternya yang datang ke apartemen, tentu dengan alasan sakit backpain yang mengganggu dan kesibukan pekerjaan.
Tak jarang suaminya memaksa pulang atau datang ke apartemen. Namun Angel sudah menyiapkan jawaban, "Apartemennya studio, mas, jadi terlalu sempit untuk bertiga. Apalagi saya butuh suster untuk membantu bersih-bersih," kata Angel.
Atau alasan lain,
"Irna juga sering mampir ke apartemen, ada saja yang mau diobrolkan, malam ini pun begitu. Mungkin lain kali mas bisa ke sini," tambah Angel mengulur waktu.
"Oh, ok," kata suaminya pendek. Suaranya sudah mulai dipenuhi keraguan.
Hingga suatu hari suaminya bertanya lewat pesan di ponsel, yang berakhir dengan saling bertukar pesan.
Aldo:
Saya merasa ada yang aneh dari hubungan kita belakangan ini. Ada apa? Bisa kita bicara?
Angel:
Saya memang tidak mau membicarakan secara langsung. Lebih baik kita berkomunikasi di sini. Saya pikir, saya telah melupakan dan memaafkan kesalahan kamu, tapi ternyata tidak.
Aldo
Jadi kamu sudah merencanakan semua ini?
Angel:
Ya. Sebab saya yakin kamu akan mengulangi kesalahan yang sama. Dan kamu akan meminta maaf lagi. Tidak adil kondisi ini buat saya. Saya tidak punya respek lagi. Perasaan saya di titik nol.
Percakapan berlanjut hingga menjelang pagi. Naik turun emosi memengaruhi kata demi kata. Hingga akhirnya Aldo menyerah.
Angel:
Permintaan saya hanya satu, jangan sampai Rino tahu. Saya trauma sangat lama dari perpisahan orangtua saya.
Aldo:
Ya saya ingat cerita kamu. Saya berusaha minta maaf dan berjanji, agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk Rino.
Angel:
Kesalahan kamu, tepatnya. Trauma saya bukan alasan untuk bertahan dalam rumah tangga yang tak punya komitmen ini.
Aldo:
Baik. Saya akan coba yakinkan kamu ketika bertemu nanti. Kapan kamu kembali ke rumah untuk mengambil barang-barang kamu?
Angel:
Tidak akan kembali.
Aldo:
Maksudnya? Lalu barang-barang kamu?
Angel:
Semua barang yang saya butuhkan sudah saya bawa. Tidak ada alasan saya kembali.
Aldo berdiri dan membuka lemari Angel, hanya tergantung beberapa helai baju. Aldo setengah berlari membuka lemari kosmetik yang tersembunyi di balik kaca, tak ada yang tersisa. Aldo terduduk lemas.
Demikianlah Angel pergi tanpa berpamitan. Tanpa pelukan perpisahan, bahkan untaian kata kemarahan. Tanpa ada kata terakhir, seolah hubungan itu tak pernah ada. Kekecewaannya diredam dalam-dalam demi Rino. Angel mengutus tim hukum untuk mengurus perceraian yang akhirnya diajukan suaminya. Tapi Aldo hanya menghadiri sidang itu sendiri. Angel hanya menerima hasil putusan, namun surat itupun hanya teronggok di sebuat peti kecil terkunci tanpa pernah dibaca.
Demikianlah Angel pergi tanpa berpamitan. Tanpa pelukan perpisahan, bahkan untaian kata kemarahan.
Kepada suster Ami, secara bertahap Angel pun sudah memintanya membawa perlengkapan pribadi dan juga mainan-mainan kesayangan Rino. Sesudah semua stabil, Angel mengembalikan kunci kepada Irna, dan mengucapkan terimakasih. Angel mengajak Rino dan suster Ami memasuki apartemen dua kamar di gedung yang sama. Ketika Rino tidur, sambil merapikan barang, suster Ami menyapanya pelan, "Ibu, waktu dua bulan ibu tidak pulang, saya tahu ibu tidak akan kembali ke rumah itu. Saya sering melihat ibu membawa perlengkapan ibu sedikit demi sedikit di awal-awal ibu menginap di apartemen."
"Hmmm," Angel menggumam datar. Enggan menanggapi.
"Lalu bagaimana ibu, kita akan seterusnya bertiga?" kata suster Ima.
"Kebetulan bapak pindah tugas ke Yogya, rumah itu akan dijual. Kalau ada yang mau lihat rumah, suster bantu urus ya. Kalau ada yang suka barang-barang di rumah itu, kirim saja ke kampung suster," kata Angel mengalihkan pembicaraan, dan enggan berbagi curahan hati.
Angel beranjak ke teras kecil dan menutup pintu geser, lalu menatap awan gelap. Perpisahan benar-benar bagaikan setengah kematian. Membebani hati yang ia tahu pasti, butuh waktu lama untuk pulih. Bahkan menekan berat di berbagai bagian tubuhnya. Salah satunya di pelupuk mata yang kemudian menjadi aliran air hangat di kedua pipinya. Hujan mulai turun dengan suara tetesan air berirama, memberikan ruang untuk Angel membagikan isak tangisnya.
Jakarta, Juli 2024