Oleh: Marlon Manaek Tua (Pengamat Perencanaan Wilayah dan Kebijakan Publik) MediaBantenCyber.co.id - (MBC) Sumatera Utara, Kebijakan Pemerintah Memberikan Izin Kawasan Hutan Kepada PT Inti Indorayon Utama sekarang PT Toba Pulp Lestari di wilayah masyarakat adat Sihaporas, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (Sumut). Bahwa negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 telah mengamanatkan antara lain "memajukan kesejahteraan umum, melindungi segenap tumpah darah Indonesia".  Keadaan ini sebagai anti thesa dari kondisi kolonialisme yang menindas dan menyiksa selama 350 tahun oleh penjajah Belanda, Inggris dan Jepang serta Portugis. ___________Program Pemerintah Pusat

Para bapak pendiri bangsa membebaskan Indonesia dari belenggu penindasan, sebagai anti thesa dari penjajahan maka negara bentukan revolusi 1945 di akhir perang dunia kedua berkeinginan untuk membuat kehidupan rakyat lebih baik lagi sekaligus menjadi snitesa.

Sejak diproklamasikan 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa berkeinginan segala pemindahan kekuasaan dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Harapan tersebut tidak ototmatis dapat terlaksana, hal tersebut disebabkan maraknya gangguan keamanan oleh Belanda dan sekutu yang tidak ingin negara kaya sumber daya angraria ini tumbuh besar menjadi negara maju.

Baca Juga : DPRD Kota Tangsel Mengabaikan Seruan Pemerintah Pusat di Tengah Merebaknya Covid-19

Terhitung ada 2 (dua) kali agresi militer Belanda dengan sekutu terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).yang masih berumur seumur jagung bahkan belum memiliki tentara yang modern dan professional. Di tengah agresi, pemberontakan di berbagai daerah mulai dari DI/TII, PERMESTA, PRRI, RMS dan Peristiwa Pemberontakkan PKI Madiun 1948 telah disusun peraturan perundang-undangan yang memuat peraturan dasar pokok-pokok agraria.  

Hal yang menarik, penjajah Belanda masuk ke negara NKRI karena kekayaan alam yang luar biasa, telah menghasilkan struktur kepemilkan agrarian yang timpang sekaligus memiskinkan rakyat, dan untuk menciptakan kemakmuran rakyat maka disusunlah Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang barang tentu tidak mulus pelaksanaannya mulai dari 1948  tercatat beberapa panitia baik Panitia Jogjakarta, Jakarta hingga tanggal 24 September 1960 diundangkan Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) tersebut bertepatan dengan hari Tani.  

Ayunan cangkul Bung Karno menandakan dimulainya landreform yang dipayungi oleh UU PA.  Landredorm untuk menata struktur agrarian yang timpang warisan kolonialisme selama 350 tahun.  Langkah revolusioner ini tentunya didukung oleh kaum Marhaen yang mayoritas tertindas namun perlawanan pun sangat sengit dari mereka yang menguasai sumber daya agrarian dalam skala luas yang diuntungkan oleh perilaku kolonialisme.

Salaam 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya UU PA untuk dilakukan penataataan struktur yang timpang sekaligus menjabarkan pasal 33 dari UUD 1945 telah mendapatkan dukungan luas dari rakyat bahkan PKI bagian pemerintah saat itu terlihat gigih memperjuangkan kebijakan pemerintah dengan payung melaksanakan landreform.  

Di lapangan tidak sesederhana yang dibayangkan, karena telah terjadi maraknya perlawanan terhadap pelaksanaan landreform yang didasarkan pada UU PA, dari sisi lain kaum progresif pendukung landreform bereaksi keras. Dan aksi saling bertentangan baik antara Kelompok progresif yang mendorong pelaksanaan landreform dengan payung UU PA dikategorikan aksi sepihak. 

Demikian Kelompok kontra revolusi yang berwatak penindas dan feodal yang menguasai sumber agrarian melakukan aksi sepihak menolak pelaksanaan landreform. Aksi sepihak ini merugikan pelaksanaan landreform yang dialkukan pemerintah. Keadaan Negara yang tidak kondusif memicu pemberontakan akibat rasa tidak puas dan kudeta terhadap Presiden Soekarno tepat 5 (lima) tahun sejak UU PA diundangkan.

Kerasnya penumpasan terhadap Soekarno dan pendukungnya serta gagasannya membuat kebijakan landreform bahkan kaum penentang melakukan aksi sepihak melawan UU PA sejak Soeharto berkuasa mendapat posisi tawar tinggi, memukul kaum progresif membuat stigma mereka yang melalukan aksi sepihak.  Sejarah selalu ditulis kaum pemenang, demikianlah nasib kebijakan landreform sejak ORBA berhasil menjatuhkan Presiden Soekarno telah mati suri.  

Baca Juga : Paramitha Messayu Kritik Keras, Saat Pandemi Covid-19 Merajalela Pemerintah Pusat Menonaktifkan Peserta BPJS PBI Untuk Masyarakat Miskin

Pelaksanaan penataan sumberdaya agrarian warisan colonial yang tumpang tindih dan menindas rakyat Marhaen. Dan kondisi makin diperparah dengan masuknya kapitalis asing sebagai akibat kebijakan mengundang investor asing yang barang tentu paling banyak bergerak disektor ekstraktif untuk mengeksploitasi alam.  

Dukungan tangan besi rezim orba terhadap perusahaan/investor asing yang lapar sumberdaya agrarian telah memarjinalkan rakyat kaum Marhaen dalam mengakses sumber daya agrarian. Kemiskinan struktural di depan mata, dengan tidak adanya demokratisasi dalam bidang ekonomi akibat sumber daya agrarian tidak terdistribusi kepada rakyat namun terkonsentrasi ke dalam pemilik kroni-kroni orde baru.  

Rakyat telah dimarjinalkan menjadi penonton pembangunan dengan harapan memperoleh tetesan dari teori trickle down effect . Keadaan ini telah menyuburkan kelompok Konglomerat yang super kaya, namun disisi lain kaum Marhaen semakin tertindas menjadi budak di negeri sendiri akibat desakan kapitalis rakus yang lapar tanah dan mengakuisisi sumber agraria dalam segelintir konglomerat, investor yang didukung oleh Soeharto.

Penggusuran tanah-tanah Marhaen membuat mereka tidak bertanah dikuasai konglomerat, pengembang dan investor membuktikan ketimpangan struktur agraria adalah nyata.  Struktur agraria yang timpang warisan kolonialisme mulai di tata sejak 1060-1965 kembali rusak akibat orde baru berkuasa 32 tahun memperparah ketimpangan kepemilikan karena kebijakan landreform dimati surikan dan demokratisasi ekonomi tidak terjadi. Akses kepada agraria diserahkan semua kroni-kroni orde baru.

Jatuhnya Soeharto pada 1998 adalah kehendak rakyat Indonesia yang tidak diuntungkan oleh kebijakan orde baru.  Warisan ketimpangan orde baru menjadi target pelaksanaan landreform. Kebijakan orba yang pro pemodal, pengusaha dan investor asing dapat dilihat di lapangan. Pemberian kawasan sekitar danau Toba kepada koorporasi yang beraktivitas menebang pohon yang sudah barang tentu tidak mendukung kebijakan danau Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia.  

Di mana rezim Soeharto lebih memberi keleluasaan kepada PT Inti Indorayon untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya agrarian di sekitar danau Toba. Aktivitas perusahaan merambah dan mendesak masyarakat adat yang lebih dahulu bermukim di wilayah adat Sihaporas. Konflik agrarian itu dipicu oleh kebijakan pemerintah orde baru yang memberi akses kepada pengusaha sebagaimana disebut di atas telah memarjinalkan masyarakat adat Sihaporas.  

Baca Juga : DPRD Mengabaikan Seruan Pemerintah Pusat di Tengah Merebaknya Covid-19

Meski ada kampanye landreform tidak serta merta membuat perusahaan yang menguasai ribuan hektar tanah di Kabupaten Simalungun itu masuk dalam penataan agrarian. PT Inti Indorayon Utama telah tutup, namun kembali hadir  PT Toba Pulb Lestari yang masih bebas beroperasi meski perlawanan rakyat sampai berjalan kaki dari Sinatar ke istana merdeka di Jakarta bertemu Presiden Jokowi, tetapi tetap saja mereka masih menguasai tanah-tanah yang berasal dari tanah masyarakat adat Sihaporas, di mana mereka tidak punya tanah tetapi PT TPL memiliki ribuan hektar tanah.

PERMASALAHAN 

Rumusan masalah yang bisa diperas adalah sebagai berikut:

  1. Kebijakan publik yang diambil pemerintah untuk melakukan landreform berbenturan dengan pelaksanaan di lapangan.
  2. Kebijakan publik Negara, dimana pemerintah orde baru memberikan wilayah adat kepada PT Inti Indorayin Utama telah membuat konflik agraria dan memiskinkan masyarakat adat Sihaporas yang kalah.
  3. Kebijakan publik yang terus memberikan keleluasaan kepada PT TPL untuk tidak membuat kehidupan rakyat sekitar menjadi lebih baik.

LANDASAN TEORI

Kebijakan publik dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis dan dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan serta cara bertindak (tentang perintah, organisasi dan sebagainya). Menurut kamus Cambridge, kebijakan publik adalah kebijakan pemerintah yang mempengaruhi setiap orang di suatu Negara atau Negara bagian atau kebijakan secara umum.

Baca Juga : Gubernur Banten Bingung, Mudik Dilarang Tapi Tempat Wisata Dibuka Oleh Pemerintah Pusat

David Easton dalam a system analysis of political life (1963) mendefinisikan kebijakan public sebagai pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Thomas R Dye dalam understanding public policy (1978) menyatakan kebijakan public adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan.

Menurut Anderson dalam public policy matrik (1984) kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.

Tujuan kebijakan publik, adalah agar dapat dicapainya kesejahteraan melalui peraturan yang dibuat pemerintah. Selain itu bertujuan untuk dapat diperolehnya nilai-nilai oleh public baik yang bertalian dengan barang public (public goods) mnaupun jasa public (public service).

Ciri-ciri kebijakan publik adalah:

  1. Kebijakan tersebut adalah tindakan pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.
  2. Kebijakan dibuat melalui tahap-tahap yang sistematis sehingga semua variable pokok dari semua permasalahan yang akan diperuntukan tercakup.
  3. Kebijakan harus dapat dilaksanakan oleh organisasi pelaksanaan.
  4. Kebijakan perlu dievaluasi sehingga diketahui berhasil atau tidak dalam penyelesaian masalah Pembahasan
    Struktur agraria yang timpang  warisan koloniaql diperbaiki pemerintah soekarno namun  diperparah oleh pemerintah Soeharto dengan kebijakan orde baru yang pro pemodal menggusur rakyat.  

Rezim Soeharto memberikan konsesi diwilayah masyarakat adat Sihaporas kepada PT Inti indorayon Utama yang kemudian ditutup lalu kembali muncul dengan nama PT Toba Pulp Lestari di wilayah bekas beroperasinya PT Inti Indorayon Utama.

Kebijakan public yang mengalokasikan sumber daya agrarian kepada PT TPL telah membawa dampak dimana kebijkan public tersebut telah memaksa masyarakat adat Sihapoiras kehilangan mata pencahariannya dari bercocok tanam pada lokasi yang diberi konsesi dari pemerintah.  

Konflik Agraria tak terelakkan lagi membuat traumatic, menggusur wilayah adat membuat masyarakat adat Sihaporas menjadi tidak sejahtera dan semakin miskin. Pemberian konsesi PT TPL di wilayah kabupaten Simalungun tidak sejalan dengan teori kebijkana public. Hal ini dilihat dari tujuan dari kebijakan public adalah mencapai kesejahteraan rakyat namun yang terjadi dengan adanya konflik agrarian masyarakat adat malah semakin dimiskinkan.  

Belum lagi wilayah yang dikuasai PT TPL membuat struktur agrarian timpang yang berimplikasi demokratisasi ekonomi tidak berjalan baik dan menimbulkan kehilangan kesempatan masyarakat adat untuk mengejar kemakmuran. Dan sekarang sudah saatnya pemerintah Jokowi membuat evaluasi terhadap kebijakan public dari pemerintah sebelumnya agar lebih baik bagi kesejahteraan  rakyat sebagai tujuan dari kebijakan publik itu sendiri.  

Dalam proses evaluasi perlu dihindari masukan dari PT TPL kepada pemerintah baik pusat dan daerah provinsi serta kabupaten.  Pemerintah sudah saatnya menghapus konsesi terhadap TPL agar wilayah tersebut didistribusikan kepada  masyarakat adat sebagai penggarap yang terlebih dahulu ada dari pada TPL. Kebijakan public yang tidak dilakukan landreform biasa dilakukan menjadi dilaksanakan landreform untuk kesejahteraan rakyat  masyarakat adat sekaligus melakukan kebijakan mengalokasi tanah kepada TPL.

Tahapan sistematis kebijakan public terhadap pemberian konsesi kepada TPL harus diperiksa dimana perlu identifikasi masalah, sejauh mana kebutuhan masyarakat terhadap tanah perlu formulasi kebijakan yang perlu dicapai lewat strategi-strategi agar lanbdreform lebih menyasar kaum marhaen.

Adopsi analisis politik diperlukan untuk mencapai tujuan landreform di lokasi TPL dari politisi untuk dukungan anggaran, peraturan perundang-undangan, misalnya Perda, pemilihan pejabat nya kepala kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun yang mau melaksanakan landreform dimana komisi II DPR dapat melakukan pengawasan kebijakan landreform di bekas lokasi TPL. (BTL)