Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan) MediaBantenCyber.co.id - (MBC) Bandung, Tentu menyedihkan dari sekedar menonton pertandingan sepakbola kemudian berujung derai air mata. Aparat yang represif membuat kekacauan bertambah hebat lalu korban berjatuhan. Bahkan yang tidak ikut dalam kerusuhan pun di atas tribun ditembak gas air mata yang menyebabkan mayat bergelimpangan. Terinjak karena kepanikan atau sesak nafas akibat gas air mata. Pernyataan resmi 125 orang dinyatakan meninggal. Yang beredar justru 180 orang lebih.
Tidak ada konflik horizontal antar suporter karena Bonek pendukung Persebaya tidak diperkenankan menonton. Yang ada adalah "konflik" antara aparat Kepolisian melawan penonton sepakbola. Tentu penonton dalam posisi tidak berdaya yang pasti dikalahkan.
Baca Juga : Bambang Suwondo Sediakan Beasiswa Kuliah untuk 100 Calon Mahasiswa
Secara formal ada suara agar dilakukan pengusutan. Presiden seperti biasa berkata-kata dan Kapolri meninjau lokasi Stadion Kanjuruhan Malang. Kapolres Malang DIBERHENTIKAN, Danyon dan anggota Brimob dinyatakan bersalah. Kapolda dituntut publik untuk DIPECAT. Dunia ikut meneteskan air mata. Tema ekstrimnya adalah Polisi membunuh lagi. Soal gas air mata ternyata menjadi pusat perhatian pengamanan di stadion sepak bola.
Segala kemungkinan dapat terjadi dalam kasus tragis ini. Sebelum adanya hasil dari pengusutan yang obyektif tentunya.
Jangan Lewatkan : IPW Mempertanyakan Tindakan Aparat Kepolisian yang Membabi-buta Menembakkan Gas Air Mata yang DILARANG FIFA dalam Aturan Sepakbola
Perlu didalami hal-hal berikut:
Pertama, siapa penonton awal yang turun ke lapangan, benarkah untuk menyerang pemain Arema atau bukan. Adakah sekedar foto-foto atau itu disain pemancing yang sengaja dilakukan untuk akhirnya menciptakan kerusuhan dan pembunuhan ?
Kedua, aksi kekerasan Polisi adakah sesuai dengan prosedur pengamanan. Tindakan BRUTAL yang berulang seperti dalam kasus 21-22 Mei 2019, 6 Laskar FPI 7 Desember 2020, kasus Sambo 8 Juli 2022 dan Stadion Kanjuruhan Malang 1 Oktober 2022. Polisi harus dievaluasi dan tidak boleh menjadi mesin pembunuh.
Ketiga, banyaknya korban tewas adalah akibat penembakan gas air mata. Ini artinya gas air mata serupa dengan peluru tajam yang bisa mematikan. Betapa bahayanya penggunaan gas air mata ini. Apalagi ditembakan ke arah penonton yang tidak melakukan apa-apa dan disana ada wanita dan anak-anak.
Keempat, benarkah pintu keluar sengaja ditutup saat terjadinya penembakan gas air mata? Adakah unsur kesengajaan atau sabotase dalam pengamanan ini, baik penutupan pintu maupun adanya zat beracun dalam gas air mata? Wajah korban yang hitam membiru.
Kelima, FIFA Stadium Safety and Security Regulation melarang penggunaan gas air mata sebagai alat pengamanan di lapangan. Polisi dan PSSI telah melakukan pelanggaran serius. Persoalan ini tidak boleh dianggap ringan. Sanksi harus tegas karena hal ini menyangkut wibawa dan martabat bangsa. Dengan pembunuhan gas maka Indonesia dapat dicap sebagai bangsa primitif dan tidak beradab.
Peristiwa 1 Oktober adalah peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Hari kegagalan PKI dan tentu hari yang dibenci oleh PKI. Pengusutan peristiwa Stadion Kanjuruhan harus dilakukan oleh yang benar-benar Independen, tidak cukup oleh Kepolisian sendiri karena "tertuduh" adalah aparat. Jika ini yang dijalankan, maka kesimpulan akan mudah didapat yakni "sesuai prosedur" atau karena adanya "perlawanan massa". Alasan standar untuk melindungi korps.
Tim Independen yang katanya dibentuk Mahfud MD harus obyektif dalam menguji peristiwa dari berbagai sisi, termasuk kemungkinan penyusupan atau sabotase. Dendam PKI pun jangan diabaikan. Bila hanya diusut oleh satu pihak atau satu kepentingan termasuk jika dipimpin oleh Menkopolhukam maka yang terjadi adalah "jeruk makan jeruk".
Jeruk itu telah terbukti sangat beracun dengan menewaskan 125 atau bahkan 180 lebih orang yang tidak berdosa. Tewas dan luka 448 orang.(BTL)
No comments:
Post a Comment