Oleh: Dahlan Pido, SH., MH. (Praktisi Hukum dan Advokat Senior) MediaBantenCyber.co.id - (MBC) Jakarta, Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok etnis, suku, budaya, dan agama untuk tujuan tertentu, sebagai bentuk perlawanan atau alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut, umumnya dijadikan strategi menjelang Pemilu. Strategi tersebut dalam bentuk menjatuhkan lawannya dengan hal yang berkaitan dengan identitasnya. Pertentangan akan dua identitas tersebut dapat memicu konflik di antara masyarakat dan jika dibiarkan akan menjadi masalah hukum dan dapat menghancurkan kestabilitasan negara/nasional.
Bahwa pada pasal 22 E UUD 1945, membahas tentang pemilihan umum, menunjukkan negara Indonesia pemerintahannya berasaskan demokrasi. Perlu diperhatikan dua hal pokok untuk membentuk suatu pemerintahan yang layak, yaitu seleksi (atau pemilihan orang yang cakap) dan delegasi (penyerahan) kekuasaan oleh penduduk kepada orang yang sanggup ditunjuk sebagai wakilnya.
Seleksi dan delegasi menyebabkan terbentuknya satu sistim pemerintahan melalu cara pemilihan yang dilakukan oleh rakyat (election). Pemilihan yang dilakukan oleh rakyat pada hakekatnya merupakan pengakuan dan perwujudan dari hak-hak politik rakyat dan Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Jika merujuk ke Pasal 280 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tidak ada penjelasan yang detil tentang pengertian politik identitas. Pasal yang mengatur hal ini hanya memuat tentang kampanye yang dilarang menghina, menghasut, mengadu domba, dan menggunakan kekerasan. Tidak ada definisi dalam penjelasan UU Pemilu sebagai rujukan kita.
Baca Juga : Politik Identitas Itu, Isu Politik Rezim Jokowi!
Politik identitas sekedar untuk dijadikan alat memanipulasi alat untuk menggalang politik guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politik. Dari dua kepentingan ini digunakan oleh sebagian elit politik untuk menggalang kekuatan massa dan menjatuhkan lawan politiknya yang notabene berbeda identitasnya yang melalui berbagai propaganda yang dikemas melalui komunikasi politik yang sangat piawai, dan menembus alam bawah sadar para pendukungnya.
Dalam wilayah hukum ibarat pisau bermata dua, antara wilayah negara dan agama, karena masing-masing memiliki aturannya sendiri. Nilai kesadaran hukum bagi kita semua betapa mahal, artinya sebuah perjuangan dalam menegakan pilar persatuan dan kesatuan Indonesia yang menjadi cita-cita awal Indonesia diawal perjuangannya dalam mendirikan bangsa ini.
Jangan sampai politik identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang mempertentangan agama dan keyakinan masing-masing. Demikian juga politik identitas jangan dibuat sebagai senjata yang kuat oleh elit politik untuk menurunkan popularitas dan keterpilihan rival politik mereka atau upaya untuk mendapatkan dukungan politik dari publik.
Isu etnis dan agama adalah dua hal yang selalu masuk dalam agenda politik identitas para elit di Indonesia, terutama kondisi masyarakat Indonesia dengan suasana primordialisme dan sektarianisme masih cukup kuat, sehingga sangat mudah untuk memenangkan simpati publik, memicu kemarahan dan sentimen massa dengan menyebarkan isu-isu etnis, agama dari kelompok tertentu
Perlu menjadi catatan, bahwasanya politik identitas merebak dalam konteks politik kekinian direpresentasikan dengan ideologi Islam, padahal politik identitas adalah suatu pengejawentahan atas beragamnya identitas bangsa indonesia dalam hal suku bangsa, etnis, dan agama yang ingin mengartikulasikan kepentingannya dalam struktur politik dan pemerintahan di Indonesia.
Hal tersebut tentunya sangat baik ketika konsepsi politik identitas didasarkan pada kesadaran hukum untuk tetap meneguhkan asas persatuan nasional yang dibingkai dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila sebagai simbol supremasi hukum dan identitas nasional menjadi faktor penting bagi terbentuknya masyarakat yang menginginkan harmonisasi relasi sosial di tengah keragaman identitas yang saling menghargai untuk persatuan.
Dengan Pancasila masyarakat akan berusaha menjalin serta membangun sistem komunikasi yang saling membutuhkan satu sama lain, dan mampu membentuk sikap kesanggupan memelihara identitas kelompoknya, bahkan bisa menerima pluralisme dan toleransi yang harus diaplikasikan dengan mengakui dan menghormati perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Dengan begitu, perbedaan menjadi Rahmat Allah yang harus dijaga secara dinamis dan berkelanjutan, sehingga dapat mewujudkan terpeliharanya identitas lokal dalam bentuk integrasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi di tingkat lokal, nasional ataupun global. Pada akhirnya sebagai pengikat Pancasila dalam kehidupan masyarakat yang mengemban visi-misi dalam proses pembangunan Bangsa Indonesia yang lebih demokratis.
Politik identitas jika salah mengelola, akan membuat masyarakat terpecah belah seperti saat Pilkada DKI, yang menjadikan masyarakat terkotak-kotak hanya karena pilihan figure, dan terbagi tidak hanya dalam kehidupan perpolitikannya namun juga sosial dan budaya. Hal ini jika dibiarkan terus menerus akan menjadi masalah hukum dan mengoyak stabilitas bangsa.
Jika ini terjadi karena kepentingan sesaat para elit, cukup disayangkan karena menjadi senjata yang menghancurkan bangsa kita sendiri. Solusinya hanya satu dialog, dan dialog dengan siapapun yang memiliki pandangan untuk persatuan Indonesia yang kuat.(BTL)
No comments:
Post a Comment