Oleh: H. J. Faisal (Pemerhati Pendidikan/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Waketum PJMI/ Anggota PB Al Washliyah) MediaBantenCyber.co.id - (MBC) Jakarta, Siapakah pihak yang mendapatkan keuntungan dari 'keributan' yang ditimbulkan oleh Rocky Gerung dengan pernyataannya yang menyebut Presiden seorang 'bajingan' dalam sebuah acara pertemuan konsolidasi buruh beberapa waktu yang lalu?
Ya benar. Ada dua pihak yang dapat mengambil keuntungan dari 'keributan' tersebut. Pertama, media besar mainstream pendukung Presiden, seperti mayoritas media-media televisi nasional yang ada di Indonesia. Selain memasang tarif iklan yang tinggi sewaktu menayangkan acara-acara diskusi tentang pembahasan kasus Rocky Gerung di stasiun TV mereka masing-masing ini, mereka juga mendapatkan keuntungan monetasi yang sangat luar biasa dari uploading berita-berita mereka di kanal media sosial youtube.
Baca Juga : Jokowi Presiden yang Kalah Melawan Mafia Tanah! | bajingan
Kedua, adalah pihak-pihak yang mengadukan Rocky Gerung ke Polisi dengan mengatasnamakan rakyat yang 'marah' karena Rocky Gerung telah menghina Presiden. Sementara Presiden yang 'dihina' atau yang dikritik oleh Rocky Gerung saja tidak mengadukan Rocky Gerung ke Polisi. Dan yang dimaksudkan dengan frase rakyat yang 'marah' juga sepertinya tidak jelas, rakyat yang mana yang dimaksud oleh para pengadu tersebut.
Jadi, para pihak yang ingin mengadukan Rocky Gerung tersebut, sepertinya hanya ingin 'panjat sosial' (pansos) saja, dan hanya ingin mengambil keuntungan psikologis agar dinilai sebagai loyalis yang benar-benar loyal. Hitung-hitung sebagai investasi peran serta, siapa tahu saja mereka bisa mendapatkan jabatan jika calon presiden (dukungan cawe-cawe presiden yang mereka bela saat ini) berhasil menjadi presiden di tahun 2004 nanti. Biasalah itu semua…..
Baca Juga : Mafia Tanah Program Prioritas PTSL Presiden Jokowi Diduga Merajalela di Kabupaten Tangerang | bajingan
Mengapa sudah biasa? Ya, karena Itulah tipikal sebuah negara yang mengaku dapat berdemokrasi dalam berbagai macam kritikan yang memiliki dasar data dan analisa yang kuat, namun ternyata tidak mampu untuk mencerna segala macam kritikan tersebut. Jangankan untuk mencerna, menerima dan menelan kritikan itu saja mereka sudah tidak mampu.
Ya, tetapi memang begitulah keadaan dan tipikal sebuah negara yang mengaku telah merasa nyaman dengan sebuah sistem demokrasi, tetapi sebenarnya belum mempunyai cukup ilmu dan pemikiran, serta pemahaman yang mendalam tentang apa dan bagaimana seharusnya demokrasi itu sendiri harus dijalankan.
Baca Juga : Proyek Pengurugan di Tanjung Pasir Sangat Meresahkan dan Mengganggu Aktivitas Masyarakat, Diduga Aparat Terkait Tutup Mata | bajingan
Dan tipikal negara yang seperti itu sesungguhnya adalah sebuah negara yang berada di dalam sebuah sistem tirani kekuasaan, tetapi selalu mengaku sebagai sebuah negara yang menjalankan demokrasi, dan selalu membanggakan sistem demokrasi tersebut sebagai tameng atau topengnya. Tipikal sistem demokrasi negara-negara seperti ini juga memang sudah biasa terjadi di negara-negara Afrika yang terbelakang, dimana korupsi pejabat pemerintahannya sangat merajalela, yang juga banyak terjadi di negara-negara Amerika latin, yang masih menggunakan sistem sosialis dan komunis, dan juga di negara-negara Asia, yang pemerintahannya masih sangat suka, alias hobi untuk melakukan korupsi, seperti di negara ini.
Dan jika kita cermati, sesungguhnya 'demokrasi' yang sedang berjalan di negara ini juga merupakan sebuah demokrasi yang tidak jelas identitasnya. Demokrasi yang dijalankan di negara ini masih jauh dari arti kata demos dan kratos yang sebenarnya. Dari terminology bahasanya, kata demos mempunyai arti rakyat dan kata kratos berarti pemerintahan. Jadi, negara yang berdemokrasi artinya adalah negara yang pemerintahannya terbentuk berdasarkan atas kepentingan rakyat, atau rakyatnya memegang peranan yang sangat menentukan.
Baca Juga : Korban Banjir Kosambi Kabupaten Tangerang Belum Mendapat Bantuan dari Pemerintah Daerah | bajingan
Dengan arti lain, rakyatlah yang memegang kedaulatan tertinggi di sebuah negara demokrasi, yang mana kedaulatan tersebut didelegasikan atau dipercayakan kepada sebuah mekanisme lembaga perwakilan rakyat itu sendiri untuk mengontrol jalannya sebuah pemerintahan.
Sementara itu, permasalahan yang terjadi di negeri ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya menjadi representasi suara rakyat (Vox Populi) justru malah menjadi representasi suara partai dan golongan yang justru mendukung kebijakan pemerintah (eksekutif) yang sangat merugikan kepentingan rakyat, dan juga menguntungkan kepentingan partai dan golongan yang mereka wakili. Contohnya adalah keluarnya Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam bentuk Omnibus Law yang hanya menguntungkan para investor dengan segala kemudahannya, tetapi sangat merugikan kaum buruh dan pekerja kontrak di Indonesia.
Baca Juga : Oknum TNI/Polri yang jadi Beking Mafia Tanah Termasuk Pengkhianat Bangsa | bajingan
Contoh lain misalnya, dengan digantinya berbagai macam peraturan perundangan dengan mudahnya, hanya demi memuluskan niat dan keinginan pribadi para penguasa terhadap hal yang diinginkannya. Ada seorang jenderal yang ingin anaknya masuk menjadi anggota TNI atau Polri, tetapi tinggi badan anaknya tersebut tidak mencukupi atau tidak memenuhi peraturan yang ada, maka akhirnya peraturan tentang tinggi badan yang dirubah. Pernah ada juga pejabat yang ingin memegang tampuk kekuasaan yang lebih lama, maka peraturan tentang masa jabatannya yang dirubah.
Dan yang paling hangat saat ini adalah disetujuinya sebuah peraturan yang merubah batas usia presiden dan wakil presiden dari 40 tahun menjadi 35 tahun (hanya agar anak presiden saat ini yang masih berusia 35 tahun dapat maju menjadi wakil presiden dalam pemilihan umum tahun 2024 nanti).
Baca Juga : Puluhan Hektar Lahan Perhutani di Utara Tangerang Diduga Dicaplok Mafia Tanah | bajingan
Maka, dapatlah terlihat dengan jelas jika demokrasi yang sedang dijalankan di negara ini sesungguhnya hanyalah sebuah demokrasi akrobat atau demokrasi sirkus, dimana para penguasa negara ini dapat seenaknya saja menjalankan kebijakan atau keinginan dan merubah peraturan demi kepentingan terselubung mereka.
Akrobat-akrobat atau sirkus demokrasi seperti inilah yang akhirnya dapat merusak sistem demokrasi yang sesungguhnya, yang pada akhirnya dapat merendahkan harkat dan martabat negara dan bangsa itu sendiri.
Dan sepertinya tidak aneh jika akrobat dan sirkus demokrasi ini hanya dilakukan oleh mereka, yang pantas kita sebut sebagai para Bajingan Demokrasi di negeri ini. Wallahu'allam bisshowab.(BTL)
No comments:
Post a Comment