Untuk anakku. Bekal berani menghadapi dunia pasca pandemi.

Anakku, tak pernah terpikir kamu akan berjumpa pandemi. Sebab dalam kurun waktu hidup ibu, pun baru kali ini. Pandemi menghantam dunia saat kamu sedang menyelesaikan skripsi. Merangkap magang di masa gamang begini. Ibu mencari cara memompakan semangat untukmu. Lewat contoh adalah yang paling efektif. Sistem kerja baru, WFH, membuat kamu berada di satu ruang dengan ibu, yang menjadi Head of Public Relations di sebuah perusahaan raksasa media. Pekerjaan ibu yang dulunya sebagian di kantor dan sebagian lain berada di berbagai acara, berubah total. Digantikan tampil rapi di depan ring light di home office yang kita buat sendiri. Kamu melihat bagaimana rapat-rapat panjang maupun pendek, membutuhkan endurance dan profesionalisme. Atau justru jeda panjang yang jika tidak hati-hati, akan membuat diri melemah. Mengatur energi bekerja di jam seharusnya, butuh strategi. Juga menjaga mood pada tempatnya. Dengan cara demikian, kita tidak lupa hari dan tanggal di masa pandemi, kita tetap bersorak gembira setiap akhir pekan tiba. Tanpa berangkat ke kantor, waktu yang tersisa amat banyak. Anehnya justru itu akan menyumbangkan rasa frustrasi. Penolongnya: skill yang kita miliki. Justru di saat pandemi, ibu dapat meluncurkan blog, dua buku biografi, dan juga menjadi dosen. Kamu ikut bergembira, dan juga tak mau kalah bergerak. A life saver adalah diri kita sendiri.

Nyatanya, walau tak keluar rumah, kamu berhasil menempati posisi magang berbayar di perusahaan multi nasional, juga start-up idaman. Perusahaan start-up yang ternyata tidak seindah dugaan, membuatmu tak lagi penasaran. Kamu memutuskan kelak tidak akan bekerja full-time di perusahaan tersebut, sebab kita sepakat kesehatan mental memegang peranan penting untuk produktif dan menjadi makhluk berbahagia. Toxic work environment harus dihindari. Kamu juga berhasil mendirikan platform edukasi online, yang memberikan berbagai konten informatif, juga kelas-kelas yang diminati generasi Z. Tak habis pikir, ketika kamu membuka kesempatan magang, ratusan orang (sempat mencapai 500 orang) mengajukan diri dari berbagai daerah, bahkan ada mahasiswa Indonesia di Australia. Semua kesempatan itu kamu ciptakan di usia 20 tahun, tanpa keluar dari halaman rumah. Pengalaman itu akan menjadi tambahan poin mengejar mimpi, meraih beasiswa sesudah pandemi.

Namun kamu dan teman-teman tetap terancam social anxiety dan peer pressure, sebab lewat media sosial orang memamerkan keberhasilan dan hedonisme, atau relationship yang ideal. Filosofinya, manusia adalah makhluk yang tidak pandai bersyukur, dan sosial media 'mendukung' sifat itu. Kamu mengatasinya dengan social media detoks, atau mengurangi screen time. Semua hal ada solusinya.

Sementara itu kehidupan kampus berubah ke lini masa, yang memberikan tekanan untukmu dan teman-teman. Ada yang ayah ibunya kehilangan penghasilan, tapi skripsi tak kunjung selesai. Berdebar harus membayar uang kuliah, tapi terus di-'ghosting' dosen pembimbing. Semua pahit, tapi percayalah, pengalaman generasi Z di era pandemi ini amat mahal harganya kelak.

Pandemi juga memberikan bekal untuk masa depan. Kamu bisa belajar dari pengalaman di teman-teman ibu yang menjadi pekerja, menghadapi kapitalis yang tak semuanya punya hati saat terjepit pandemi. Ibu harus tenang dan taktis saja. Kamu ikut mengetahui fakta saat teman-teman ibu, satu demi satu mengakhiri pekerjaannya karena PHK atau diputus kontrak. Ada yang sesuai prosedur, atau akal-akalan semata. Kamu melihat yang mana yang kalah dan menang di saat dunia jungkir balik. Pekerja yang bertahan bukan hanya yang mampu beradaptasi dan bermental baja, tapi juga karena harus tunduk pada permainan nasib. Pemenangnya adalah yang berlapang dada dan segera mencari peluang baru.

Di awal masa pandemi, kamu melihat kondisi ekonomi di rumah kita. Bagaimana pemotongan gaji yang signifikan, tidak membuat kualitas hidup dan kebahagiaan kita menurun. Bukan karena gaji ibu tinggi, itu relatif. Namun yang menolong kita adalah, selama ini kita tahu arti hidup secukupnya. Sehingga ketika keadaan memaksa, kita mampu beradaptasi. Kamu paham bahwa gaya hidup sederhana, yang tidak 'besar pasak daripada tiang', akan menyelamatkan kita dalam keadaan seperti ini. Teori 'menabung tidak menunggu uang berlebih, tapi harus bisa berapapun penghasilan kita', menjadi penolong di masa resesi panjang ini.

Melewati kesedihan, juga menjadi pelajaran hidup. Kamu menjadi saksi, ketika ibu ikut berduka saat sahabat-sahabat ibu kehilangan suami, ayah, kakak, ibu, bahkan tiga orang tercinta sekaligus dalam lima hari masa isoman. Tak kalah miris, berita perceraian teman-teman ibu. Fakta yang kita percayai, itu bukan karena pandemi, tapi memang api dalam sekam yang selama ini sudah ada. Pandemi memukul genderang pada kisah akhirnya. Kesedihannya ikut menguap dalam udara, melewati kita. Banyak orang berkomentar, sempat-sempatnya bercerai saat pandemi... kita memilih diam, karena tak berdiri di sepatu mereka.

Beragam topeng-topeng kehidupan yang dimiliki seseorang, tak berlaku lagi di masa pandemi. Topeng sebagai petinggi di kantor dan dihormati, tak lagi dinikmati. Work to home conflict, atau sebaliknya, lumrah terjadi. Peran ganda pun menyumbang naiknya tensi. Topeng sebagai seorang teman saat bergaul ngopi di sana-sini di kafe terkini, tertawa bahagia lupa sejenak pada beban hidup, tak bisa lagi dipakai. Kamu pun bercerita, banyak teman kamu yang mengalami stres, karena topeng sebagai pelajar yang bisa seenaknya bicara, kini harus terjebak di rumah bersama ayah dan ibu yang gila tata krama. Belum lagi kalau orang itu punya topeng berbeda, pendiam di rumah, tapi banyak bicara di sekolah. Mereka bagai tersasar di rumah sendiri. Topeng sebagai banyak sosok dalam satu diri. Topeng-topeng, yang sebenarnya memberi selingan untuk seseorang, dan memberi keseimbangan hidup. Kini kita tak punya pilihan, kita harus memakai topeng yang sama setiap hari. Ibu dan kamu, mengatasinya dengan tak punya ekspektasi satu sama lain. Tak perlu ideal. Selalu makan bersama, rumah rapi senantiasa, selalu harus begini dan begitu, kita buang semua. Membiarkan semua mengalir saja. Seringkali kita masing-masing punya waktu sendiri dalam sunyi. Kesunyian yang menyembuhkan.

Lalu apakah silver lining pandemi ini? Takdir yang memang nyata. Tugas kita adalah patuh pada takdirNYA. Bagai di medan perang, kita terus menjaga diri dari Covid-19 yang menghantui. Meski lelah hayati. Tak pernah terpikir liburan, sebab tak tersentuh virus ini adalah anugerah tak terkira. Berada di rumah dalam kondisi sehat dengan saturasi 98, adalah liburan yang hakiki di saat ini.

Kita selingi hari dengan memburu film atau serial Netflix rekomendasi, yang kelak akan mengingatkan kamu pada ibu. Resep-resep pandemi yang kita nikmati, akan jadi kenangan yang menghangatkan hati. Mari kita terus saja berusaha menghadapi ketakutan pada ketidakpastian. Menari di bawah hujan. Jika kita bisa lalui pandemi, kita akan menjadi pemenang di era sesudah ini. Itu pasti.

All is well,

Ibu


This free site is ad-supported. Learn more