San Francisco, 16 October 2021
Kemarin saya ngobrol banyak dengan Gigih, teman baik saya di Melbourne. Sudah lama kami nggak ngobrol karena kesibukannya kerja dan sekolah. Biasanya kami akan catch up seminggu sekali untuk menanyakan kabar satu sama lain. Sudah lebih dari tiga tahun, Gigih menjadi support system yang baik bagi saya. And I am very grateful for that. Karena a healthy friendship is one of our basic human needs.
Gigih sedang dikarantina sekarang, karena rekan kerjanya kena covid. Karena itu kami bisa ngobrol banyak.
Entah sedang ngobrol apa saya tiba-tiba saja memberinya rekomendasi tontonan Anthony Bourdain: Parts Unknown. Travel program yang mengeksplor budaya, kuliner dan kondisi ekonomi, politik serta manusia di sebuah negara. Belakangan saya sedang senang menonton seriesnya karena komentarnya yang ringan dan blak-blakan. Pada tahun 2018, Anthony Bourdain meninggal pada usia 61 tahun di Perancis. Penyebabnya adalah bunuh diri. Karena tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan, kematiannya disimpulkan sebagai impulsive act.
Hal ini mengingatkan kami pada seorang teman yang pernah membagikan hal yang kurang lebih sama. Ia berkata, kalau nanti ia menginjak usia 60 tahun, dan belum meninggal, ia mungkin akan mengakhiri hidupnya sendiri. Atau ada teman lain yang bilang kalau euthanasia (the painless killing of a patient suffering from an incurable and painful disease or in an irreversible coma) legal di Indonesia dan ia punya uang untuk membayarnya, ia mungkin akan minta disuntik mati, atau pergi ke negara yang melegalkannya.
Dulu, saya setuju dengan mereka. Saya pikir, hidup ini bukan pilihan semua orang. Saya tidak memilih untuk dilahirkan, yet I am here. Dulu kalau ditanya ingin jadi apa, saya pasti jawab ingin jadi debu, small, insignificant and feelingless. Atau kalau bisa memilih saya tidak mau dilahirkan sama sekali, hidup terlalu merepotkan, terlalu banyak kekecewaan dan kehilangan.
Semua pikiran itu tak bisa saya lenyapkan begitu saja. I felt hopeless, like nothing in this world could save me. Easy and happy sound so unfamiliar. Mungkin dulu ekspektasi saya terhadap hidup juga terlalu berlebihan. But I simply feel unwanted and hopeless and nothing couldn't shake that feeling away. Sampai saya berfikir bahwa kematian mungkin lebih mudah. Gigih adalah saksi sejarah perjalan saya. I was in a very dark place, saya bahkan menulis surat panjang lebar kepada Gigih tentang semua perasaan buruk yang membuat saya ingin pergi saja.
Tapi semua itu terjadi ketika saya belum memutuskan untuk menolong diri saya sendiri. Saya membiarkan diri saya tenggelam ke dalam semua kenestapaan hidup yang membuat saya merasa tak ada artinya lagi untuk berjuang. Toh orang-orang tetap akan jahat kepada saya. Semua itu terjadi ketika saya belum tahu bahwa saya memang memiliki kondisi mental yang tak bisa saya kontrol begitu saja. Sebelum saya tahu kalau saya ini memiliki Bipolar disorder. Hidup kala itu sungguh melelahkan. Dipermainkan oleh pikiran sendiri sungguh melelahkan.
Sudah lama saya tidak merasakan depresi berminggu-minggu atau berbulan-bulan sampai saya ingin menyerah berkali-kali seperti dulu. Ketika saya sudah merasa depressive episode akan datang, saya tahu apa yang harus saya lakukan. Hidup terasa lebih masuk akal sekarang dengan bantuan therapy dan medication. Somehow saya ingin berada di masa depan dan keinginan untuk menyerah begitu saja sudah jarang datang menghantui malam-malam saya.
Tentu saja perasaan stabil seperti ini tak serta merta saya dapatkan jika saya diam saja dan membiarkan keadaan saya memburuk kala itu. Good support system yang mendorong saya untuk mencari bantuan professional, yang mendengar, yang menjaga yang membuat saya bisa bertahan sampai saat ini. Somehow kata 'hope' itu masuk akal. Somehow I can finally see the light at the end of the very long and dark tunnel I used to be in. Somehow saya sudah berdamai dengan hidup. Somehow saya ingin memperjuangkan hidup saya lagi. Saya ingin berjuang lagi. Kalau ditanya "Apa kamu sekarang sudah bahagia ki?". Jawaban saya "I feel better and I am stable, and I want to live, that is all I know for now".
Memiliki support system yang baik juga membuat saya merasa kalau I am worthy of love. Despite all the people who hurt, rejected, abandoned my feelings. Masih ada segelintir orang yang tulus menjaga dan merawat. And that is more than enough for now.
Good support system is a crucial thing in terms of survival. Especially with my condition. Saya sering lupa akan hal itu, apalagi untuk mengapresiasi mereka. And now that I am stable I can see it clearly now, that I am loved. I am beyond bless to have them.
Kalau ada orang-orang yang pernah merasakan hal saya rasakan dulu, mungkin sudah waktunya untuk menolong diri sendiri. There is no shame in that. To seek for help, to seek for your own support system, I know life sometimes doesn't make any sense, but it would be nice if we don't beat our self up with this kind of feeling, and start to appreciate what is here for you, all the little things in life. Appreciate you self for fighting until this far, appreciate people who fight with you, appreciate every single good thing that came into your life out of the blue. And somehow little by little, you'll see that life starting to be kinder and kinder as you also start to be more gentle to handle yourself.
And yes, despite all the bad things that happened, all the losses, life still wants you to know that there is indeed still hope around the corner.
No comments:
Post a Comment