Setiap kali merindukan ayah, saya mencari makanan kesukaannya. Seketika sosoknya 'kembali' dalam kenangan.
Kami duduk di sebuah cafe cantik di pinggir jalan. Cafe baru ala Prancis di Pasaraya. Kami memesan Cappucino dan Croissant. Sesaat sebelum duduk, ayah mengajak saya melihat aneka Croissant di etalase makanan. Ayah menerangkan, Croissant tidak hanya bisa dinikmati dengan rasa gurih, tetapi juga nikmat dalam rasa manis. Ayah memesankan Almond Croissant untuk kami berdua. Kami juga memesan Croissant saus jamur hangat dengan lelehan keju di atasnya. Ketika kami duduk, ayah mengajak saya melihat orang berlalu lalang.
"Kamu bisa melatih deskripsi dalam pikiran, dengan melihat suasana saat ini. Seperti di pojok kiri depan, arah pukul 11, lihat kan, ada pasangan, yang wajahnya kelihatan tidak bahagia? Mari kita coba mengarang, mungkin mereka bertengkar karena sebuah perselingkuhan. Atau mereka dikejar utang?" Saya memang hobi menulis seperti ayah.
Saya mengamati pasangan tersebut, hmm... bisa jadi. Angan saya mulai bertualang.
"Atau lihat itu seorang wanita yang berusaha tenang di depan cafe. Padahal dia sangat gelisah. Lihat gerakan tangannya. Matanya pun hanya mengarah ke satu titik yang sama, kira-kira ada apa?" Kata ayah lagi.
"Menunggu seseorang? Pacar rahasia, mungkin?" Kata saya sambil menikmati Almond Croissant. Benar juga, enak.
"Mungkin saja!" Kata ayah.
Sampai kini Almond Croissant adalah salah satu makanan kesukaan saya. Untuk mengenang ayah. Ayah penggemar semua jenis roti. Ayah mengajarkan saya bisa makan apa saja, tidak harus makan nasi. Semua makanan internasional saya cicipi bersama ayah. Beragam Seafood, aneka Chinese Food, Sushi, olahan pasta, Rissoto, hingga Moussaka. Agar kelak saya mudah menyesuaikan diri di mana saja. Saya memang bercita-cita meneruskan sekolah hingga ke luar negeri. Ayah yang realistis menghitung kemungkinannya. Menurut ayah, meski beliau petinggi di sebuah media, tidak mungkin bisa menyekolahkan saya ke luar negeri. Kalau pun bisa, hanya mampu membayar kuliahnya, padahal living cost justru biaya yang sama besarnya. Tapi semua bisa kalau kami memiliki strategi. Maka ayah memberikan saya sebuah skenario. Saya harus lulus sarjana dengan nilai terbaik. Belajar bahasa Inggris dengan keras. Bekerja untuk mengumpulkan uang untuk membeli tiket dan menabung. Selama saya bekerja, tugas ayah mengumpulkan uang untuk membayar sebuah kursus management (karena ini jauh lebih murah dibandingkan masuk universitas). Uang kursus harus sudah dibayar di muka. Sebab setiap bulan ayah hanya mampu membayar uang sewa rumah dan uang makan. Itulah sebabnya uang kursus harus sudah lunas ketika saya berangkat. Ketika libur saya harus bekerja, bukan untuk membawa uang ke Jakarta, tetapi untuk biaya kursus-kursus singkat, dan jalan-jalan ke sekeliling Australia. Sehingga ketika saya pulang, saya sudah mengunjungi kota-kota lain di luar Sydney, yang bisa dijangkau dengan bus atau kereta. Menurut ayah, pengalaman traveling lebih mahal harganya, daripada membawa pulang uang.
Namun... cita-cita saya adalah mengambil gelar S 2 di sebuah universitas. "Tenang, itulah tujuan kamu sekolah di sebuah kursus management yang kita mampu. Sepulang dari sana, bahasa Inggris kamu lebih bagus, lebih percaya diri, lalu kamu mencari beasiswa. Harus lulus! Pertama, cobalah beasiswa ke Amerika, kalau tidak lolos, kejar tujuan beasiswa kedua, ke Australia, pilihan ketiga barulah Inggris," kata ayah.
"Kenapa Inggris jadi pilihan ketiga, ayah?" tanya saya.
"Sebab Inggris memiliki musim yang sangat dingin, tak mudah menghadapinya," kata ayah. Sampai kondisi cuaca pun ayah pikirkan untuk saya. Pernahkah ayah ke Inggris? Tidak. Ayah hanya gemar membaca. Ayah pandai karena membaca. Buku-buku telah menjadi jendela ayah berkeliling dunia.
Pendek cerita, semua skenario ayah, saya jalani. Tepatnya 'kami' jalani. Ayah memantau semua nilai saya. Setiap saya membawa pulang hasil ujian di fakultas komunikasi, ayah membacanya sangat teliti. Kalau saya dapat 84 atau 85, ayah bilang, semua orang bisa dapat A dengan nilai sekian. "Coba usaha dapat nilai 90, walau sama-sama A," kata ayah. Ayah juga yang mengarahkan saya mengambil jurusan Humas, sementara ilmu jurnalistik diambil sebagai mata pelajaran pilihan saja, sambil terus belajar dari ayah.
Luluslah saya S 1 dengan pengumuman yang menyebutkan nama saya sebagai mahasiswa yang lulus dengan nilai tertinggi, 3.85. Nilai yang saya capai 'bersama' ayah. Saya langsung diterima bekerja di sebuah media yang representatif. Saya pun mulai menabung. Lalu saya berangkat ke Sydney untuk menjalani kursus manajemen. Setiap minggu saya menulis surat untuk ayah, tentang detail semua hal di Sydney, demikian pula sebaliknya. Surat-surat ayah menjadi hal yang selalu saya tunggu. Tepat setahun kemudian saya kembali ke Jakarta. Saya lulus dengan nilai A untuk semua mata pelajaran.
Saya kembali bekerja di perusahaan terkenal. Tak boleh asyik pada pekerjaan, ayah mengingatkan saya sudah saatnya saya mencari beasiswa. Saya tidak lolos beasiswa Amerika. Rencana kedua dijalankan, saya pun lolos di Murdoch University, Western Australia, mengambil jurusan Journalism. Kami berhasil!
Ayah adalah energi saya. Ayah pernah berbisik memberitahu saya berapa gajinya. Saya terpana, "Kamu akan mendapatkan gaji jauh lebih tinggi dari ayah. Percayalah."
Kasih sayang ayah adalah dasar percaya diri saya. Ayah selalu berada di sisi saya di saat-saat penting, termasuk saat saya dua kali melahirkan.
Suatu sore di tengah karier saya, saya mendapatkan telepon. Saya ditawarkan gaji berkali lipat, namun bukan itu yang terpenting, tetapi saya akan menduduki jabatan membanggakan untuk karier jurnalistik. Semua kata-kata ayah menjadi nyata.
Sayangnya, ketika semua itu terjadi, ayah telah tiada... Saya sudah pernah mencapai posisi tertinggi di media, seperti ayah. Saya sudah berkeliling dunia, seperti kemauan ayah. Saya meneruskan berkarier di bidang Humas yang dulu ayah sarankan, selain juga tak pernah berhenti menjadi penulis (yang tak kenal kata pensiun). Demi ayah, saya bisa jadi wanita kuat, yang berkali-kali bangkit menghadapi cobaan. Bayangan ayah menemani saya. Saya tak ingin membuat ayah kecewa.
Kenangan terakhir bersama ayah juga menjadi pelajaran hidup yang berharga. Suatu kali ayah sakit, ayah dirawat oleh sahabatnya, seorang dokter. Ayah rupanya merasa sakitnya serius. Ayah meminta jawaban jujur. "Mas El sakit kanker paru-paru. Secara medis, diperkirakan bisa bertahan maksimal setahun," kata dokter.
Ayah pun mengajak kami berbicara. Airmata saya dan kakak saya terus mengalir, sementara ayah tetap realistis. Ayah menjalankan sebuah rencana. Ia menjual rumah kesayangannya. Membeli sebuah rumah kecil di dekat rumah kakak saya. Menyimpan sebagian uangnya, dan sebagian lagi diserahkan ke kakak saya untuk biaya berobat. Sehingga tidak merepotkan siapa pun. Lalu menjadwalkan setiap akhir pekan makan di berbagai restoran. Namun setelah tujuh bulan pengobatan, kondisi ayah melemah dan tak mampu makan lagi. Tak terperikan sedihnya melihat motivator saya yang perkasa, tak kuasa melawan takdir.
Ayah ditemani orang-orang tercinta di saat terakhirnya. Ayah melihat sebuah kereta menuju kota kelahirannya, Solo, yang akan menjemputnya. Kami memintanya naik. Kami rela. Sebelum pergi, ayah menuliskan wasiatnya dengan rapi. Namun sesungguhnya, hingga ayah menutup mata, semua biaya ditutup oleh seseorang. Orang yang sama yang juga membeli rumah ayah, hingga semua rencana ayah berjalan lancar. Siapakah orang itu? Ternyata, suatu kali di masa lalu, ayah pernah menolong seseorang, yang istrinya keguguran dengan efek yang parah. Pasangan itu butuh dana untuk ke rumah sakit, namun tak ada kerabatnya yang bisa meminjamkan uang. Ayah mengeluarkan semua tabungan yang dimiliki, dan menolong tanpa pamrih. Orang itulah yang menjadi penolong ayah hingga hingga maut menjemput. Tanpa ayah sadari, ia telah mengajarkan, kebaikan akan berbalik pada diri sendiri.
Ayah tak luput dari kesalahan. Namun banyak kebaikan ayah sudah menjadi alat pembayarnya. Hanya Allah yang bisa memahami kerinduan saya pada ayah. Al Fatihah.
No comments:
Post a Comment