Bagaimana sih definisi pernikahan yang sehat? 

Apakah pernikahan bisa dikatakan sehat ketika suami istri terlihat kokoh finansial? 

Apakah pernikahan dikatakan tidak sehat ketika tidak kunjung memiliki anak? 

Dan apakah pernikahan bisa dikatakan sehat hanya dengan melihat senyuman? 

Pernikahan yang sehat itu bukan dilihat dari pandangan orang lain, tapi dirasakan oleh hati

Sudah berapa lama umur pernikahanmu? Sebulan? Setahun? Lima tahun? Atau sepuluh tahun? 

Jadi, sudah punya rumah? Atau mobil? Atau memprioritaskan untuk memiliki anak terlebih dahulu? 

Sadar atau tidak, sebenarnya pernikahan yang sehat itu bukan tentang seberapa banyak yang sudah kita miliki. Atau seberapa bagusnya kita di pandangan semua orang. 

Pernikahan yang sehat adalah ketika cinta itu masih tumbuh. Seburuk apapun keadaan yang ada sekarang. Pun kalau kalian merasa terpuruk secara ekonomi, jika cinta masih ada. Sungguh, sebenarnya pernikahan kalian masih dalam kategori sehat. Depresiasi secara finansial bukan berarti pernikahan kalian jauh lebih buruk dibanding yang lain. 

Pertanyaannya, bagaimana caranya menumbuhkan rasa cinta itu ketika kondisi sedang sangat sakit? Baik itu secara ekonomi maupun mental. 

Komitmen. Ingat tentang sebuah tujuan. Ingat tentang janji yang pernah terucapkan. Selama kesakitan yang timbul tidak karena orang yang kita cintai. Sungguh itu tidak apa-apa. 

Misalnya, ketika pernikahan kita sedang diuji secara ekonomi. Pernikahan kita masih dalam kategori sehat asalkan suami masih berkomitmen untuk memberikan kewajiban, sekecil apapun itu. Bahkan, pernikahan kita masih masuk dalam kategori sehat jika suami kehilangan pekerjaannya. Sejauh ia masih berusaha support dengan hidupmu. Maka, secara ekonomi pernikahan kita masih sangat berpotensi untuk sehat, untuk sembuh walaupun cobaannya berat. 

Pernikahanmu masuk dalam kategori sakit. Ketika suami kehilangan rasa tanggung jawabnya. Biarpun ia mampu secara finansial, tapi jika ia tak peduli dengan keuangan bahkan terkesan pelit hingga membanding-bandingkan dengan pengeluaran keluarga lain. Maka, toxic pernikahan sudah muncul dalam pernikahanmu. 

Secara mental, pernikahanmu masih termasuk dalam kategori sehat ketika suamimu terus mendukung dan membelamu (sejauh tindakanmu baik). Contoh, ketika kita berhadapan pada masalah dengan mertua, ipar, dsb. Pernikahanmu masih masuk dalam kategori sehat secara mental jika suamimu mendukung dan membelamu. Tapi, kalau tidak maka pernikahanmu masuk dalam kategori toxic. 

Jadi, pernikahan yang sehat bukan tentang seberapa banyak pencapaian yang telah kita peroleh selama periode pernikahan. Sudah punya rumah, punya mobil, punya anak dll dsb. Pernikahan itu sungguh akarnya adalah antara suami dan istri. Adapun jika yang lain terlihat sejahtera maka itu adalah buah dari akar yang baik. 

Pernikahan yang sehat itu simpel. Ketika kita masih bisa merasakan cinta walau begitu banyak cobaan yang datang. 

Terdengar lebay ya? Ya, tapi begitulah pengalamanku menghadapi pernikahan selama 9 tahun. 

Mengobati Toxic dalam Pernikahan

Selama 9 tahun menikah, bukan berarti cinta antara aku dan suami selalu berada dalam kategori sehat. 

Sungguh, sangat amat sering berada dalam fase toxic. Terlebih, pada awal pernikahan. 

Aku remind dulu ya. Bercerita begini bukan berarti membuka aib. Tapi, kita gak tau siapa tau diantara kalian ada yang memiliki nasib sama sepertiku. 

Masalah yang sempat tumbuh dalam pernikahanku adalah ketika kami diberikan anak. Jujur kami bukanlah pasangan yang siap memiliki anak. Aku belum siap, suamiku apalagi. But, I try.. 

Suamiku bukanlah tipe yang peka dengan peran menjadi Ayah. Terlebih, lingkungan hidupnya sangat patriarki. Sehingga, dia cuma melihat bahwa segala urusan anak, rumah, dapur, itu adalah urusanku. Dia hanya berpikir bahwa kewajiban lelaki adalah mencari nafkah. Cukup tak cukup harus cukup. Lelah tak lelah, hadapi. 

Aku sungguh tak apa menahan hal demikian. Itulah yang aku pikirkan dahulu. Toxic secara finansial sedang menjajah hidupku. Kemudian aku harus berhadapan pada toxic secara mental. Tinggal di rumah mertua, berhadapan dengan budaya baru, keluarga baru yang pandangannya berbeda. Membuatku kaku. Suami mungkin awalnya membelaku. Tapi lambat laun, aku sadar bukan mendapat porsi dominan dalam kepedulian. Ya memang tidak apa-apa. Justru seharusnya begitu bukan? Selamanya bakti anak adalah pada Ibunya. Tapi pertanyaannya, apakah iya aku harus berhadapan pada toxic secara finansial maupun mental dalam rumah mertua? 

Maka apa yang harus aku lakukan? 

Mengobati toxic dalam pernikahan salah satu cara terbaiknya adalah menumbuhkan rasa empati pada pasangan. Caranya bermacam. Mungkin para pakar pernikahan diluar sana selalu berkata bahwa komunikasi adalah kunci. Tapi, sungguh komunikasi setiap orang itu memiliki seni. Kadang, justru ketika dalam diamlah kesadaran akan empati itu datang. 

Baca juga: Tak selamanya komunikasi adalah kunci

Maka, selain mencoba mendapatkan empati dari pasangan sungguh.. Jangan pernah lepas dari doa. Bukan hanya doa pribadi. Doa orang tua adalah jurus terbaik. 

Aku merasakan sendiri. Pernah dalam fase stuck dan sangat merasa tidak dicintai. Di nomor 2,3,4kan dibanding yang lain. Merasa tidak berharga tidak berdaya. Tapi pertolongan Allah selalu datang untuk menjaga pernikahan kami. 

Pernikahan sehat juga tentang refleksi diri plus membersihkan hati

Kadang, kita sangat gampang menyadari adanya toxic yang datang dari pasangan. Tapi, sangat sulit menyadari bahwa.. Hei, jangan-jangan selama ini pikiran aku lah yang kotor? Jangan-jangan hatiku yang selama ini toxic? 

Merasa diri 'paling' berusaha. 

Kemudian mulai membanding-bandingkan dengan pasangan lain yang terlihat lebih. Tanpa sadar, meremehkan pasangan sendiri. Lalu merasa gelap sendiri. Gelap karena memang hati kita yang sedang kotor. Kotor oleh rasa angkuh dan iri dengki. 

Sejatinya, setiap pernikahan pasti mengalami rasa-rasa demikian. Sangat wajar sih menurutku kalau itu terjadi. Karena, akupun pernah begitu. 

Merasa diri ini saja yang paling lelah, tidak dibantu, tidak didukung, tidak dihargai. Lalu pikiran mulai berprasangka macam-macam. Apalagi kalau melihat pasangan lain yang rasanya kok ideal sekali. Aduh, panas rasanya. Iri pun datang. Hati pun semakin gelap. 

Ketika permintaan tolong tidak dihiraukan, Terima kasih jarang diucapkan. Lalu, saling gengsi meminta maaf karena merasa, "DIA KOK YANG SALAH"

Padahal, hei.. Jangan-jangan memang 'Aku' yang perlu diobati. 

Tidak pernah ada ujungnya yang namanya perselisihan. Jika tidak  dimulai dari saling mengoreksi diri sendiri. 

Seberapa benarnya pun diri kita. Sangat penting untuk berkaca dan mulai mengoreksi diri. Kadang, sangat gampang melihat toxic yang hadir dari pasangan. Tapi hal tersulit adalah mencari sudut gelap dalam hati kita sendiri. 

Telusuri penyebabnya dan kalau perlu mintalah pasangan untuk jujur pada kita. Apa sih kekurangan kita. 

Seni Saling Memberdayakan Pasangan, Kunci Pernikahan Sehat Mental dan Finansial

Permasalahan terbanyak dalam pernikahan adalah masalah finansial karena membuat ekonomi stuck lalu mental jadi down. Kemiskinan terstruktur pun menjadi berakar dan menurun pada generasi selanjutnya. 

Permasalahan kedua yang sering hadir juga sering diawali oleh masalah mental. Banyak ragamnya. Dari trauma innerchild yang belum tuntas dihadapi, PPD ketika memiliki anak, stress karena kehilangan passion dalam bekerja yang bukan pada bidangnya, dll dsb. 

Sebenarnya, ada jurus pamungkas untuk mengurangi masalah mental dan finansial dalam pernikahan. Kalian tau apa itu? 

Yaitu seni saling memberdayakan pasangan. 😁

Kita sering berhadapan pada statement bahwa istri harus mendukung suami dalam bekerja. Agar suami bisa optimal dengan memberdayakan dirinya.. Maka, istri sebaiknya di rumah saja untuk khusus melayani dan mengurus anak. Biarkan suami bekerja diluar. Sungguh, gak salah. Ada benernya kok. Aku pun pernah dalam sepemahaman demikian. 

Saat memiliki anak, kita berdua sepakat dengan skema demikian. Alhamdulillah, rejeki suami memang melesat maju. Kami bisa membeli rumah, mendirikan perusahaan, dll dsb. Ya, pemahaman itu sejatinya benar. 

Tapi, risiko dari hal ini adalah istri rentan stress. 

Kupikir loh, dulu itu kalau aku di rumah saja maka aku bisa menjadi Ibu yang baik. Karena punya banyak waktu untuk anak. 

Kupikir aku bisa jadi istri yang baik. Karena punya banyak waktu untuk merawat diri hingga memasak dan memanjakan suami. 

Kupikir, hidup di rumah saja akan menjadi sesempurna itu. 

Ternyata, aku stress gaes. Aku kena babyblues lalu sempat PPD. Wkwk. 

Hidup di rumah aja. Ternyata bikin value yang aku miliki jadi terdepresiasi. 

Dulu ya aku bangga banget sama diriku. Aku Aswinda Utari, anak yang lumayan disegani di kampus. Suka sekali setiap persentasi. Punya kesibukan, bisa ini bisa itu.. Bla bla.. 

Ketika di rumah aja ngurus rumah dan anak. Aku sempat ada di posisi begini.. "Eh, aku siapa? Eh aku bisa apa? Kok aku begini aja?"

Gak ada hal yang lebih sad dibanding ketika kamu kehilangan diri sendiri lalu merasa gak berdaya. Ngerasa hilang dari dunia dan kok dunia jadi sekedar black n white. Pikiran menyempit, hobinya suuzhon. Masa tergelap dalam hidup aku. 😭

Kalian tau apa solusinya? Berdayakan diri. Mulai berkaca dan temukan tujuan baru dalam hidup. Tujuan yang bikin diri sendiri jadi berdaya. 

Saat menjadi Ibu, ada 2 dunia yang rentan hilang dari kita. Yaitu Dunia sosial dan Dunia untuk diri sendiri. Dalam bahasa kerennya mungkin me time plus social time. Awalnya, aku meremehkan pentingnya 2 dunia ini untuk keseimbangan hidup. Ternyata, itu sangat penting ada. Karena ya.. Begitulah manusia. Manusia punya misi visi untuk dirinya agar bisa bahagia. Manusia juga diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial. 

Maka, kami mulai merombak ulang sistem pernikahan dalam keluarga kami. Memperbaiki skema patriarki yang sekian tahun ada dalam hidup aku. 

"Pasangan itu harus saling memberdayakan"

Jika aku mendukung suamiku dalam pekerjaannya sebagai seorang dosen dan pembisnis IT. Maka, suamiku juga harus mendukungku dalam menekuni hobi menulis. Suamiku membuatkanku blog dan memaklumiku jika sesekali aku sibuk menulis atau ada hal-hal lainnya. Thats our deal. 

Time flies, bisnis IT suami tumbuh diluar perkiraan dan kami memberanikan diri membangun kantor baru. 

Aku sering melamun melihat kantor tersebut. Ada keinginan terbesit dihatiku. Aku ingin bekerja disini. 

Kalian tau? Meski senang menulis. Sebenarnya aku adalah seorang lulusan akuntansi. Sudah 9 tahun lamanya aku tak bersinggungan lagi dengan debit kredit. Yhaa.. Kecuali saat melihat buku tabungan dll. Haha. 

Ada perasaan galau yang timbul akhir-akhir ini. Apakah kami akan berjalan saling mendukung dengan jalan yang berbeda? Atau sebaiknya, aku menempuh jalan yang sama dengan suamiku dan mendukungnya dari jarak dekat sekaligus mengoptimalkan diriku yang dulu lagi? 

Butuh penyesuaian dan belajar kembali. Tapi, mungkin saja aku bisa bukan? Mungkin saja aku bisa membantu suami sambil melakukan hal lainnya. 

Karena sesungguhnya, pasangan yang saling memberdayakan itu bagus. Tapi, pasangan yang bersatu dalam satu pekerjaan mungkin itu akan luar biasa. 

Aku melamun sambil melihat pasangan suami istri yang berjualan martabak. Kulihat mereka yang sama-sama sibuk. Tapi begitu kompak dalam kerja sama. 

Aku pun teringat dengan pasangan yang berjualan sayur di pagi hari di pasar. Yang satu melayani pembeli, dan yang satu membantu mengambilkan sayur. 

Aku melihat pasangan suami istri yang bekerja membudidayakan jamur. Sang suami tekun menanam jamur, sementara sangat istri mengolahnya menjadi berbagai masakan lantas menjualnya. 

Kemudian, aku menonton drama Korea Whats Wrong With Secretary Kim. Sungguh, sepertinya bekerja bersama pasangan mungkin akan menjadi pengalaman luar biasa dalam pernikahanku. 

*Kemudian aku membaca blogpost ini. Astaga, ngobrolnya sudah uncontrol. Maafkan curhat terselubung ini ya gaes.. Haha. 

Ya, intinya begitulah. Jika kalian ingin kunci pernikahan yang sehat mental dan finansial. Tak ada salahnya memulai dari hal ini. 

Yuk, saling memberdayakan pasangan. Dia berdaya, kamu berdaya. Pernikahan kalian punya sehat dan jaya! Aamiin.