Bistik Jawa adalah sepiring kemewahan di rumah kami. Potongan daging berbumbu dengan mustard buatan sendiri yang dibuat dari kuning telur. Pelengkapnya adalah potongan buncis dan wortel yang dipotong rapi dan direbus, juga kentang goreng. Kemudian dinikmati dengan siraman kuah kecap cair berbumbu. Ayahku yang sering meminta menu ini, disambut gembira oleh ibu. Aku seringkali ikut ke pasar berbelanja semua kebutuhan masak. Aku masih teringat suasana ceria menuju pasar. Saat hati ibu bahagia, aku ikut merasakannya walau saat itu aku masih duduk di bangku SD. Namun sayangnya semua hilang tak lama kemudian. Ayahku semakin sibuk dan kerap pulang malam. Termasuk di akhir pekan. Maka Bistik Jawa tak pernah lagi hadir di meja makan.
Sayur Gori, sayur nangka muda yang gurih dan manis, adalah kenangan indah tentang ibu. Ibu hanya memasak saat hatinya senang. Aku menikmatinya sepulang sekolah, saat perut lapar dan lelah. Dimakan panas-panas dengan nasi dan sambal. Aku kurang paham, hatiku gembira karena melihat wajah ibu cerah, atau aku senang karena sering menemukan potongan daging di dalam Sayur Gori. Aku makan sambil ditemani ibu yang duduk di sebelahku. Rambutnya ikal dengan hidung mancung dan sepasang mata yang lembut. Lalu ibu bercerita tentang kehidupan manisnya semasa kecil di Yogya, menjadi satu-satunya anak perempuan dalam keluarga, dengan lima saudara laki-laki. Lalu ibu dan semua saudara ibu, berpisah mengarungi hidup masing-masing. Menemukan takdir yang berbeda-beda. Menjalani suratan hidup yang tak selalu sesuai dengan harapan. Termasuk kisah ibu. Lalu kisah sedih itu berulang kembali. Aku yang sudah menjadi murid SMP, sedikit-sedikit mampu memahami. Kalau suasana hati ibu sudah berubah demikian, Sayur Gori di piringku tak lagi senikmat tadi. Namun kudengarkan cerita ibu, berharap telinga kecilku mampu meringankan beban batin ibu.
Ayam Kalasan adalah sebuah resep yang kata ibu mudah, tapi enak sekali di lidahku. Hebatnya, ibu mampu membuatnya dalam bentuk ayam utuh dengan bumbu meresap sempurna. Ibu membiarkan aku memilih potongan mana yang aku suka, saat itu aku merasa ibu menyayangiku sedikit lebih besar dari adikku. Aku makan dengan lahap, ditemani pandangan mata ibu yang penuh kasih sayang. Namun seperti masakan ibu yang lain, menu ini memudar di rumahku dan semakin jarang muncul di meja makan, karena kondisi ibu yang tak lagi gemar memasak sejak ditempa banyak persoalan. Aku kerap menahan lapar sepulang sekolah, dan harus mencari makanan dulu untuk mengisi perutku. Begitulah hari kerap berlalu.
Namun Sup Buntut selalu menjadi pertanda Natal hadir kembali di rumah ibu. Satu-satunya menu yang tetap ibu masak, dalam suasana hati ibu yang tak kami tahu pasti. Kuah panas dan panci besar di dapur, mengepul mengeluarkan keharuman yang menghangatkan hatiku. Menggelitik rasa lapar. Aku tak sabar memenuhi piringku dengan sedikit nasi dan Sup di atasnya, dengan potongan daging Buntut Sapi, wortel dan daun bawang. Waktu berganti tahun demi tahun, sejak aku kecil hingga dewasa, enaknya Sup Buntut ibu tak terkalahkan dengan menu apa pun. Namun kisah Natal berubah, ketika di usia 21, aku meminta izin untuk menjadi mualaf. Panjang prosesnya sampai ibu mengizinkan aku masuk Islam. Aku menjadi mualaf di Masjid Sunda Kelapa, tanpa didampingi keluarga. Tak apa, karena sejak saat itu, hatiku seolah menemukan rumah baru. Setiap Natal aku menjadi yang pertama mengunjungi ibu. Menikmati Sup Buntut yang enaknya sama. Namun senyum ibu memudar dari wajahnya.
Tak banyak resep yang kuingat dari ibu. Sebab sejak kematian adikku, ibuku tak punya semangat memasak lagi. Sesekali aku mengajak ibu makan di luar. Ibu memesan menu yang sama, Nasi Tim atau semangkuk Bakso. Ibu menolak hidup dengan anak. Saat hidup sendiri, ibu hanya sering membeli makanan untuk kebutuhannya sehari-hari. Aku menikah dan menjalani hidupku, namun pelajaran hidup dari ibu kuambil baik-baik. Tak pernah sekalipun anakku bangun pagi tak ada sarapan tersedia, tak pernah sekalipun mereka pulang sekolah tak ada makanan di meja. Bangun pagi, tugasku adalah memasak. Sebelum berangkat ke kantor aku siapkan makanan dengan menu lengkap. Praktis saja, namun kupastikan anak-anakku tak akan pernah kelaparan. Aku tak menunggu mood untuk memasak. Aku memasak setiap hari, bagaikan robot. Tak ingin masa laluku terulang pada anak-anakku. Namun apa yang ibu lakukan, aku maafkan setulus hati.
"Bunda, masakannya enak sekali! Seperti sarapan di hotel. Yum... yum!" Jerit anak bungsuku. Dia menikmati Scrambled Eggs dan roti panggang keju.
"Aku paling suka ini! Tumis Jamur. Aku mau bawa jadi bekal!" Begitu kata anak sulungku.
"Gulai Ayam! Bunda pasti belajar masak dari eyang. Pasti eyang juga begini selalu masak yang enak-enak setiap hari," kata si sulung. Dia masih ingat sosok ibu. Masih sempat mengukir kenangan dengan ibu.
Aku tersenyum dan membalikkan badan menyembunyikan airmata. Meski akhirnya menetes juga di pelupuk mataku. Teringat ibu. Jika anak-anakku sudah cukup dewasa akan aku bagi rahasia, pengalaman bisa membuat kita melakukan yang sama, atau sebaliknya.
Resep-resep ibu tak sering aku masak di dapurku. Terlalu sedih mengenang ibu. Kalau saja ada keajaiban, aku ingin ibu hidup kembali, dan meminta ibu untuk bisa memaafkan banyak orang demi kebaikannya sendiri. Kalau ada keajaiban, aku ingin ibu hidup sehari saja lagi... Aku ingin melihatnya tertawa bersama anakku, menyisir rambut anakku, di bawah mentari pagi berdua mengejar kupu-kupu di taman. Saat itu wajah cantik ibu bahagia dan cerah, suatu hal yang amat jarang terjadi. Semua terekam di sebuah Ipad yang kusimpan hati-hati. Kenangan terakhir bersama ibu. Ibu meninggal dunia karena sakit dengan komplikasi di usia 69 tahun. Sesekali video itu aku putar kembali. Namun doaku setiap hari kupanjatkan untuk wanita terpenting dalam hidupku itu. Damailah jiwamu. Terimakasih ibu, untuk semua resep terenak yang pernah aku nikmati. Terimakasih ibu, untuk semua airmatamu.
No comments:
Post a Comment