Sebenarnya, aku ingin sekali membuang bekas-bekas luka yang ada.
Mengobatinya, mengolesnya dengan setumpuk krim.
Bahkan menutupinya dengan concealer dan foundation sebanyak mungkin.
Tapi ternyata, hal itu tak dapat mengubah apapun.
Yang luka tetaplah berbekas,
Aku benci dengan bekas, karena itu mengingatkanku pada masa lalu.
Aku benci dengan masa lalu yang buruk.
Penyebab Bekas Luka yang Selalu Ada
Ada orang-orang yang membuatku selalu merasa iri. Bukan mereka yang punya segala. Punya kekuasaan hingga punya kepintaran setinggi langit.
Mereka yang selalu membuatku iri adalah mereka yang dapat tertawa dan move on begitu saja ketika luka demi luka datang. Bahkan, mereka tak pernah mencerna dua kali tentang maksud perkataan seseorang yang mungkin menyakitkan. Mereka fokus ke depan. Fokus pada tujuan hidupnya sendiri. Fokus untuk berusaha lebih baik dalam menjalani hidup.
Sungguh, aku iri sekali dengan orang-orang tahan banting sedemikian. Kalau boleh bertukar, aku ingin sekali menukar hatiku yang seperti kaca ini dengan hati yang sedemikian.
Namun, semakin aku kenal dengan karakter orang-orang yang 'kuat' aku semakin sadar bahwa dibalik kekuatan itu ada luka yang mereka sembunyikan dengan baik. Hingga aku sendiri pun tak sadar bahwa mereka punya luka. Luka-luka demikianlah yang membuat mereka tumbuh dengan baik. Salutnya diriku, bagaimana bisa orang-orang ini tak memiliki 'bekas' pada lukanya sendiri.
Namun kemudian, aku teringat kata-kata ini..
"Jikapun kamu sudah berusaha menghilangkan bekas luka dengan sebaik mungkin.. Maka mungkin bukan usahamu yang kurang. Namun, kemampuan regenerasi kita memang berbeda. Seperti halnya kulit. Kamu lihat kan seminggu yang lalu wajahku berjerawat besar. Seminggu kemudian jerawat itu mengecil. Minggu berikutnya, bekasnya hilang total. Tapi ketika si Anu berjerawat, beda cerita. Mungkin akan bertahun-tahun baru bisa hilang. Begitupun kamu. Kamu punya kemampuan dan latar belakang yang berbeda. Dan itu tak apa." - Someone
Bekas Luka adalah Sebuah Ruang Untuk Belajar
Sebelum menonton Harry Potter, anak yang terkenal dengan bekas lukanya.. Aku memiliki tanda serupa di lengan kananku. Persis sama bentuknya seperti Harry Potter. Mama menyebutnya sebagai tanda lahir. Sedangkan imajinasi liarku berkata, bahwa itu adalah bekas luka dari kehidupanku sebelum dilahirkan.
Well, FYI aku tidak percaya dengan reinkarnasi. Haha.. Tapi, aku mempercayai bahwa ruh itu mengalami beberapa urutan fase di dunia atas sana sebelum ia ada pada tubuh yang sekarang. Imajinasi liarku berkata bahwa setiap manusia yang lahir memiliki tanda mungkin mengalami untold story di alam ruh yang tidak pernah bisa ia ingat.
Oke abaikan kehaluanku.
Tapi sebenarnya hal yang ingin kuceritakan adalah.. Mungkin, dalam kehidupan ini ada beberapa kejadian menyakitkan yang begitu membekas dalam diri kita. Baik ingatan menyakitkan, mengharukan, menyenangkan dan membahagiakan. Ingatan itulah yang membentuk karakter emosi kita. Senang, sedih, takut, marah, excited. Setiap emosi mengandung memorinya masing-masing. Emosi senang kadarnya akan banyak ketika diisi dengan kenangan menyenangkan. Excited akan sering terjadi ketika kadarnya diisi oleh memori tentang betapa serunya mencoba dan mencoba. Sedih pun demikian, kadarnya akan banyak ketika begitu penuh kenangan menyakitkan yang pernah terjadi. Begitupun marah dan takut. Kadar dan kontrol akan emosi kita berada pada apa dan bagaimana pengalaman yang terjadi pada kehidupan kita. Apakah kebanyakan emosi itu kita pendam, kita keluarkan dengan baik, atau kita biarkan saja ia keluar tanpa terkontrol.
Pemendaman emosi inilah yang mungkin menyebabkan luka yang membekas. Bisa jadi, masa lalu kita begitu kelam dan tak pernah memiliki keberdayaan untuk sekedar mengeluarkannya dengan baik. Kita sadar hal yang kita alami itu 'tidak nyaman' namun kita membiarkannya demi relasi yang baik-baik saja.
Time flies dan akhirnya kita menyadari luka itu membuat orang sekitar kita merasakan ketidaknyamanan atas emosi yang meledak. Maka, kita pun berusaha menyembuhkannya. Lama dan sangat lama prosesnya. Akhirnya luka itu sembuh dan membekas.
Dulu, aku bersikeras menghilangkan bekas luka itu karena sangat menyebalkan.
Lambat laun, aku mulai bersahabat melihatnya.
Bekas luka adalah ruang untuk belajar. Bahwa apa yang terjadi di masa lalu memang 'harus' selalu diingat namun tidak dilepaskan dengan membalas. Bekas luka adalah pengingat bahwa diri kita adalah pemutus rantai ketidaknyamanan dengan tidak melakukan hal yang sama.
Manusia Selalu Punya Pilihan
Emosi mungkin bisa lepas tak terkendali, tapi sejatinya manusia selalu punya pilihan atas keputusan hidupnya. Ingin membiarkan bekas luka itu memimpin dan mengontrol hidup atau menutupi dan membiarkannya begitu saja.
Tapi mungkin ada pilihan yang lebih baik dibanding itu. Yaitu membiarkan bekasnya. Memahami bahwa tak semua bekas luka bisa tertutup sempurna. Tapi setidaknya kita memiliki pilihan untuk tetap tersenyum. Pemahaman bahwa emosi berlebihan mungkin melegakan, tapi itu tak bisa mengubah apapun.
Aku belajar banyak dari anakku Humaira. Saat melihat gigi ompongnya yang terbilang cukup 'dini' aku paham bahwa kadang kita tak pernah punya kontrol akan luka kita sendiri. Luka menganga dan membekas. Tapi kita selalu punya pilihan untuk tertawa dan tersenyum apapun yang telah terjadi. Semua akan baik-baik saja. Ditahan ataupun dilepaskan. Tak akan mengubah apapun yang ingin berpikir buruk tentang kita.
Filosofi Topeng Pada Pola Parenting
Hingga sekarang rasanya sering menyesal jika mengingat kadang.. sering sekali lepas kendali dalam memarahi anak-anakku. Bekas luka yang tak hilang sering kali menjadi pemicunya. Padahal kalau diingat, sering kali berucap pada diri sendiri bahwa parenting adalah 'seni berpura-pura menjadi baik'. Tapi kadang, ah.. hanya sekedar teori
Padahal kalau dipahami lagi, anak sekecil Pica dan Humaira paham apa tentang luka? Mereka hanya paham dunia mereka yang masih putih. Untuk apa aku sering memunculkan versi asli emosiku pada mereka?
Jika pun ingin validasi tentang perasaan. Maka, suami adalah tempat sebaik-baiknya. Dialah pasangan hidup yang menyatakan siap menemani kita dan mendengarkan kita. Bukankah begitu?
Maka aku pun memutuskan untuk terus memasang topeng kebaikan pada anak-anakku. Mereka belum pantas mendapat luka di umur yang masih kecil. Mereka hanya pantas mendapatkan cinta dan kasih sayang. Topeng pun berlaku pada mereka yang tak perlu memahami diriku lebih dalam. Karena aku sudah paham apa akibat dari mengeluarkan emosi berlebihan tidak pada tempatnya. Itu membuat efek Boomerang pada diriku sendiri.
Pada akhirnya, sebagai manusia tak apa kok memiliki banyak topeng. Bukan tak punya karakter. Tak punya pendirian. Tapi kita sedang menjalani proses adaptasi. Adaptasi pada hati anak yang masih kecil dan polos. Adaptasi pada lingkungan sosial.
Karena jika ingin memilih terbuka, pasanganmu adalah tempat sebaik-baiknya memeluk luka. Dan teruslah ingat.. Ada Allah.
No comments:
Post a Comment