Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan) MediaBantenCyber.co.id - (MBC) Bandung, Hampir sulit menyebut situasi kini lebih baik dari kemarin. Fakta yang ada hampir pada semua bidang mengalami kemerosotan. Komitmen penegakan ideologi dari para penyelenggara semakin rendah. Pancasila untuk slogan saja sudah nyaris tidak terdengar, apalagi wujud dari pengamalan. Begitu juga dengan kehidupan politik yang demokratis prakteknya tergerus oleh kesewenang-wenangan segelintir orang yang disebut oligarki. Materi telah menjadi berhala.__________________Baca Juga : Proyek Perbaikan Jalan Terkesan Asal Jadi di Kabupaten Tangerang
Negara ini mengalami proses pembusukan akibat jiwa penyelenggara negara yang oportunis, memperkaya diri, serta terampil dalam mengambil kesempatan. Jiwa-jiwa dari penjajah dan penindas. Pendusta dan pemecah belah. Pemimpin yang bebal dan munafik.
Ikan itu busuk mulai dari kepalanya, karenanya jika ingin agar seluruh bagian badan ikan tetap segar dan tidak membusuk maka cepat potong kepalanya. Buang ke tempat sampah.
Dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan juga sama. Jika negara dan bangsa ingin tidak terpapar cepat oleh proses pembusukan, maka langkah awal untuk menyelamatkannya adalah "Potong kepala negaranya".
Baca Juga : Apresiasi Pemkot Serang Terkait Perbaikan di Posyan, Ketua DPRD Ajak Evaluasi Kembali OPD
Rezim Jokowi adalah rezim busuk yang bukan untuk dilanjutkan tetapi diselesaikan. Lebih cepat tentu lebih baik. Bahwa Pemilu tinggal sebentar lagi bukan menjadi alasan bagus bagi perubahan. Ketika Jokowi cawe-cawe maka budaya buruk politik, ekonomi dan lainnya akan terus diwariskan. Artinya politik, ekonomi dan kebusukan lainnya tetap berlanjut.
Yang dinilai aman dan terpenuhinya syarat fundamental bagi kebaikan ke depan adalah Pemilu tanpa Jokowi.
Pemakzulan Jokowi adalah "conditio sine qua non". Ketika orang ingin filosofi pembangunan bangsa kembali pada sandaran keseimbangan materiel dan spiritual maka harus tumbang rezim materialisme, rezim investasi. Jika ingin agama dihormati dan TNI berfungsi untuk menangkal komunisme, maka jangan harap terpenuhi jika cara pengelolaan negara masih bermazhab "legacy" Jokowi.
Baca Juga : Begini Kata Kadis Bina Marga Kabupaten Tangerang Terkait Perbaikan Proyek Jalan
Ketika rakyat mengkritisi "proyek boros" Kereta Cepat dan perpindahan ibukota negara atau IKN serta 8 Kesepakatan Indonesia-RRC sebagai jalan penyerahan kedaulatan NKRI kepada China maka pengambil kebijakan tersebut harus ditegur dan diberi sanksi, bukan djilat-jilat demi sejumput kekuasaan oleh para pelanjut. Hutang besar luar negeri yang besar harus dipertanggungjawabkan oleh Jokowi sendiri.
Teriakan pencabutan omnibus law cipta kerja dan kesehatan yang dibarengi aksi-aksi berulang tidak akan didengar dan dipenuhi oleh rezim kapitalis saat ini. Malah menjadi ejekan Jokowi yang lebih memilih berpose dengan para artis ketimbang menghadapi aksi pengunjuk rasa di sekitar Istana. Omnibus law akan hapus jika Jokowi juga telah dihapuskan.
BUMN yang amburadul, KKN yang merajalela, kriminalisasi aktivis, penyanderaan partai politik, propaganda kebohongan serta perilaku otoriter dan oligarkis lainnya adalah fenomena buruk yang harus diubah dan diperbaiki. Dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh mereka yang berkualifikasi sebagai penerus rezim.
People power adalah jalan pemakzulan secara konstitusional. Kekuatan buruh, mahasiswa, purnawirawan, umat Islam, cendekiawan, kaum profesional serta emak-emak bergerak bersama untuk menekan pemangku kebijakan dan lembaga kompeten agar menangkap dan menindaklanjuti aspirasi perbaikan melalui pemakzulan.
Pemakzulan adalah awal dari perbaikan itu. Selanjutnya adalah penataan dan pengawalan. Tanpa pemakzulan semua akan terlambat dan terhambat. Kedaulatan rakyat harus segera dipulihkan dan Konstitusi memberi jaminan.(BTL)
No comments:
Post a Comment