Oleh: Dahlan Pido, SH., MH., (Praktisi Hukum/Advokat Senior) MediaBantenCyber.co.id - (MBC) Kota Tangerang Selatan, Jangan atas nama Hukum atau pemberantasan korupsi penegak hukum / penyidik (Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK) main tahan/ciduk tanpa ingin menunjukkan alat bukti (minimal dua) dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, alibi ini harus dipertanyakan.
Untuk penetapan tersangka, prosedurnya penegak hukum harus menunjukkan minimal dua alat bukti, misal ada keterangan saksi-saksi, dan ada dokumen/surat-suratnya. Jangan-jangan penegak hukum memang tidak punya bukti sama sekali, makanya dicari dalih seperti tersangka menghilangkan barang bukti atau melarikan diri. Hukum sudah mewajibkan kalau menetapkan seseorang menjadi tersangka harus menunjukkan dua alat bukti yang cukup, bukan dua barang bukti.
Jika penahan dilakukan tanpa dua alat bukti, maka jelas ada Abuse of Power yang dilakukan oleh penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian dan KPK), ini merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang sewenang-wenang terhadap seseorang, tindakan itu dilakukan untuk kepentingan tertentu yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
Baca Juga : Kriminalisasi Kepada SK Budiardjo dan Nurlela Terkonfirmasi Melalui Proses Penyidikan yang TIDAK FAIR | penyidik sebelum
Dalam Hukum Pidana, ada yang dikenal dengan asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Pravia Lege (tidak di pidana jika tidak ada kesalahan) atau yang sering disebut dengan asas legalitas. Asas ini menjadi dasar pokok dalam menjatuhi sanksi pidana pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana, artinya seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya apabila melakukan perbuatan atau kesalahan (schuld) yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Bahwa seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban karena 2 (dua) unsur, yakni:
- Unsur perbuatan, seseorang tidak dapat dipidana apabila tidak melakukan suatu perbuatan, yang dilakukan merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum atau perundang-undangan;
- Unsur kesalahan (schuld), adalah keadaan psikologi (keadaan seseorang) pelaku yang berhubungan dengan perbuatan yang ia lakukan.
Baca Juga : Bersama FKMTI, Guru Besar IPB Datangi Mabes Polri Untuk Menyampaikan Surat Terbuka Terkait Mafia Tanah | penyidik sebelum
Para penegak hukum masih keliru memahami Pasal-pasal dalam UU No. 20 Tahun 2001, Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seperti Pasal 2, Pasal 3, Pasal 18 dan Pasal-pasal lain UU Tipikor.
Mereka lebih menekankan pada usur kerugian Negara daripada unsur memperkaya diri sendiri. Seharusnya cara pembuktiannya terbalik, membuktikan unsur perbuatan memperkaya diri sendiri terlebih dahulu, baru membuktikan unsur kerugian Negara, kesalahpahaman tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Unsur "merugikan keuangan negara dan melawan hukum", hanya sebatas sarana atau cara bagi pelaku untuk melakukan tindakan korupsi.
Apabila seseorang tidak pernah terlibat dalam suatu tindak pidana Korupsi maupun tidak punya niat untuk melakukan tindak pidana Korupsi, atau tidak pernah menerima hadiah atau janji yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya, maka orang tersebut tidak dapat di pidana.
Baca Juga : Tarik UPETI Lelang Jabatan OPD Dan Terima Uang Suap Gratifikasi, Walikota Bekasi Rahmat Efendi Ditetapkan Sebagai TERSANGKA Oleh KPK | penyidik sebelum
Jika ini yang terjadi ketentuan atau norma UU Tipikor menjadi liar dan cenderung keluar dari asas-asas hukum pidana, sehingga tidak memberikan jaminan perlindungan hukum dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dan berlawanan dengan hukum jika hal ini menyebabkan seseorang harus di hukum akibat asumsi/pikiran maupun tindakan yang dilakukan oleh orang bukan karena perbuatannya (Pasal 11 UU Tipikor).
Tindak pidana korupsi seharusnya memperhatikan unsur perbuatan memperkaya diri sendiri / korporasi terlebih dahulu, baru kemudian melihat adakah unsur perbuatan melawan hukum atau tidak. Hal utama yang tidak dapat dilewatkan adalah adanya audit BPK atau BPKP, tanpa audit maka Jaksa tidak dapat membuktikan adanya kerugian keuangan negara, kecuali tertangkap tangan dengan memberi dan menerima uang (suap).
Bahwa dalam UU TIPIKOR dikenal dengan penerapan sistem pembuktian terbalik, seperti diatur dalam Pasal 37 UU TIPIKOR yang berbunyi, ayat (1): Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, sedangkan ayat (2) menyatakan, dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh Hakim Pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Baca Juga : Sidang Pertama Gugatan Praperadilan Ustadz Yahya Waloni Kepada Bareskrim Polri Digelar | penyidik sebelum
Untuk menjunjung proses hukum yang adil dan asas praduga tak bersalah, maka menurut hemat kami, pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji ada hubungan dengan jabatannya harus dapat dibuktikan, karena Hukum kita menganut sistem pembuktian negatif, yakni menggabungkan unsur keyakinan Hakim dengan unsur pembuktian menurut undang-undang. Kedua unsur tersebut harus terpenuhi ketika Hakim menjatuhkan putusan bebas atau bersalah.
Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-bernar terjadi dan Terdakwa yang bersalah melakukannya.
Banyak kasus yang ketika dikaji sebenarnya bukan korupsi karena tidak ada niat jahat untuk korupsi, namun lebih prosedur administratif / sistem, seperti:
Baca Juga : Saksi Pelapor Ketua FKMTI dari PT Sedayu Sejahtera Abadi (SSA) "Gagap" dan Banyak Tidak Tahu di Persidangan PN Jakbar | penyidik sebelum
TENTANG DISKRESI
Dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Bahwa Pasal 22 ayat (1) menyebutkan, bahwa Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang, ayat (2): Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Diskresi dalam Pasal 23 menyebutkan, Diskresi Pejabat Pemerintahan meliputi: a. pengambilan Keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan; b. pengambilan, b. pengambilan Keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur; c. pengambilan Keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan d. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Baca Juga : Pengembang Akui IMB Belum Terbit, Proyek Cluster Mewah di Pamulang Belum Disegel Satpol PP, Ada Apa? | penyidik sebelum
TENTANG INPRES
Inpres No. 1 Tahun 2016 melakukan penyelesaian masalah dan hambatan dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional atau untuk memberikan dukungan dalam percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dengan Mengambil diskresi dalam rangka mengatasi persoalan yang konkret dan mendesak.
Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia harus melihat:
Baca Juga : Kewenangan Hukum Pemblokiran Rekening | penyidik sebelum
- Mendahulukan proses administrasi Pemerintahan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebelum melakukan penyidikan atas laporan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional;
- Meneruskan/menyampaikan laporan masyarakat yang diterima oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional kepada pimpinan kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah untuk dilakukan pemeriksaan dan tindak lanjut penyelesaian atas laporan masyarakat, termasuk dalam hal diperlukan adanya pemeriksaan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP);
- Melakukan pemeriksaan atas hasil audit APIP mengenai temuan tindak pidana yang bukan bersifat administratif yang disampaikan oleh pimpinan kementerian/ lembaga atau Pemerintah Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Melakukan pemeriksaan atas hasil audit APIP sebagaimana dimaksud pada angka 3, dengan berdasarkan: a. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik; b. alasan yang objektif; c. tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan d. dilakukan dengan iktikad baik;
- Tidak mempublikasikan pemeriksaan secara luas kepada masyarakat sebelum tahapan penyidikan;
- Menggunakan pendapat dan/atau penjelasan/keterangan ahli dari kementerian/ lembaga yang berwenang sebagai tafsir resmi dari peraturan perundang-undangan terkait;
- Menyusun peraturan internal mengenai tata cara (Standar Operasional dan Prosedur/SOP) penanganan laporan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional sebagai dasar pelaksanaan tugas di masing-masing jajaran unit instansi vertical;
- Memberikan pendampingan/pertimbangan hukum yang diperlukan dalam percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional;
- Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap jajaran dibawahnya dan memberikan tindakan apabila terdapat penyimpangan dan pelanggaran.
Dalam memaknai tindak pidana korupsi harus memperhatikan unsur perbuatan memperkaya diri sendiri / korporasi terlebih dahulu, baru kemudian melihat adakah unsur perbuatan melawan hukum. Kesalahpahaman memaknai Pasal-pasal dalam TIPIKOR hanya akan menciptakan ketidakpastian hukum, akibatnya banyak pejabat ataupun Direktur BUMN takut menjalankan kebijakan, sehingga pemahaman Pasal-pasal tersebut perlu diluruskan.
Banyak kasus yang ketika dikaji sebenarnya bukan korupsi karena tidak ada niat jahat untuk korupsi, namun yang ada kesalahan prosedur administratif yang diabaikan. Hal yang biasa penyidik lakukan adalah penerapan Pasal pada pelaku ada melakukan penyertaan tindak pidana apabila dalam sebuah kasus terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa pelaku.
Misal Pasal 55 KUHP biasa disebut Medepleger, merupakan orang yang secara sengaja turut serta berbuat atau mengerjakan suatu kejahatan, dengan syarat-syarat adanya kerjasama secara sadar yang dilakukan untuk hal-hal yang dilarang Undang-Undang, ancaman hukuman sama dengan pelaku tindak pidana.
Demikian juga penerapan Pasal 56 KUHP, dipidana sebagai pembantu kejahatan:, yakni mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.(BTL)
No comments:
Post a Comment