Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan) MediaBantenCyber.co.id - (MBC) Bandung, Beberapa waktu yang lalu muncul pernyataan bahwa Kejaksaan telah siap untuk membawa kasus pembunuhan 6 anggota Laskar FPI ke meja hijau. Ketentuan yang akan didakwakan yaitu Pasal 338 KUHP (Pembunuhan), 351 ayat 3 KUHP (Penganiayaan menyebabkan kematian) dan 55 KUHP (Penyertaan). Dua Tersangka yang diajukan adalah Fikri Ramdhani dan Yusmin Tersangka lainnya Elwira dinyatakan telah meninggal dalam suatu kecelakaan.

Sudah 9 (sembilan) bulan sejak peristiwa terjadi belum juga kasus ini masuk ke ruang pengadilan, padahal para tersangka sudah diketahui sejak awal, anggota Kepolisian aktif, serta saksi yang cukup banyak. Tak ada alasan signifikan yang seharusnya  menghalangi proses cepat penyidikan hingga penyidangan.

Akan tetapi faktanya justru sangat lambat. Terkesan enggan untuk menindaklanjuti, ada sesuatu yang disembunyikan, serta diduga ada otak atik skenario untuk memuluskan penyelesaian kasus. Diinginkan agar kasus ini terhenti atau tidak menyeret personal dan institusi lain. Publik dalam posisi obyek dari pembiasan penuntasan perkara. Menonton sandiwara.

Baca Juga : KontraS Merilis Ada 29 Kasus Pembunuhan Oleh Polisi di Luar Proses Hukum Tahun 2020

Untunglah Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Pengawal HRS telah berhasil mendapatkan banyak fakta di lapangan yang berbeda dengan alur cerita pihak penegak hukum.Temuan dituangkan dalam sebuah dokumen yang dinamakan "Buku Putih Pelanggaran HAM Berat". Buku setebal 350 halaman tersebut akan menjadi bahan bagi masyarakat untuk memantau kejujuran dan kebenaran pemeriksaan lanjutan di tingkat peradilan.

Memelototi Kasus KM 50 ini menjadi sangat penting berdasarkan kacamata Buku Putih, sebab:

Pertama, penghancuran lokasi Km 50 menimbulkan dugaan bahwa disini ada "rumah jagal" tempat penyiksaan dan pembantaian minimal untuk 2 anggota Laskar.

Baca Juga : Polisi Turunkan Tim K9, Guna Ungkap Kasus Pembunuhan dan Dugaan Perkosaan di Lebak

Kedua, Fikri dan Yusmin bukan pelaku utama  pembunuhan, ada beberapa pelaku lain yang jauh lebih berperan. Penyiksaan dan pembantaian tidak dilakukan oleh hanya dua atau tiga orang.

Ketiga, kasus pembantaian ini bukan merupakan kegiatan penegakan hukum melainkan operasi khusus yang menjadikan keenam laskar sebagai target antara untuk target sesungguhnya.

Keempat, ada tiga "mobil hantu" yang penumpangnya mengambil peran penting atas pembantaian ini yaitu Avanza hitam B 1739 PWQ, Avanza silver B 1278 KJD, dan mobil "komandan" Land Cruiser hitam.

Baca Juga : Komnas HAM Ditantang Melakukan Sumpah MUBAHALAH Terkait Hasil Penyelidikan Kasus Pembunuhan 6 Laskar FPI, Beranikah???

Kelima, kemunculan di depan media  Kapolda Metro Irjen Pol Fadil Imran dan Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurrahman pada tanggal yang sama 7 Desember 2020 mendorong kewajiban hukum untuk memeriksa keduanya atas kemungkinan keterlibatan.

Keenam, sebagai sebuah operasi khusus  berbasis politik maka penyiksaan dan pembantaian keenam anggota Laskar FPI dapat berujung pada pertanggungjawaban politik. Presiden Jokowi tidak boleh tidur nyenyak.

Baca Juga : Agar Persidangannya Objektif, Hakim Sidang Pembunuhan 6 Orang Laskar FPI Harus Membaca Buku Putih

Kasus Km 50 harus terus dipelototi. Ini bukan kasus ecek-ecek, banyak spektrum terkandung di dalamnya. Kejahatan kemanusiaan adalah musuh dunia yang tidak boleh dihapus meskipun rest area Km 50 itu telah dihancurkan.

Misteri "Unlawful Killing" dan "Crime Against Humanity" pada kasus KM 50 harus dan akan segera terkuak.(BTL)