Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan) MediaBantenCyber.co.id - (MBC) Bandung, Di tengah bobroknya pemerintahan dengan BUMN yang banyak merugi, demokrasi terseok-seok, proyek ambisius seperti bandara dan kereta cepat yang tidak bergerak, mangkrak dan membengkak, Jokowi tetap 'keukeuh' untuk merealisasikan proyek pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan.
Tidak bisa mengukur diri kesannya. Suara rakyat diabaikan, "anjing menggonggong kafilah berlalu". Sepertinya dalam benak hanya ada proyek dan proyek. Proyek jalan tol, pelabuhan, bandara, LRT, kereta cepat, termasuk proyek pemindahan Ibu Kota. Pengalaman mencatat kegagalan demi kegagalan. IKN akan dibayang-bayangi pula oleh kegagalan. Biaya mahal menjadi paket proyek membual.
Ibu Kota Negara (IKN) berpotensi gagal disebabkan:
Pertama, ini proyek yang tidak dipahami dan diterima rakyat, bukan kehendak rakyat tetapi keinginan pemerintah bahkan mungkin Presiden dengan oligarki nya saja. Proyek-proyek yang tidak berbasis kepentingan dan dukungan rakyat selalu berantakan. Ironinya bangunan yang pertama akan didirikan adalah Istana Presiden. Weleh.
Kedua, biaya besar sekitar 500 triliun tidak jelas sumber pendanaannya. Baru dalam RUU IKN disebutkan sumbernya adalah APBN, aset BUMN, Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan swasta murni. Betapa berat untuk menyedot dana APBN dan aset BUMN yang kondisinya kini semakin morat-marit. Status ekonomi Indonesia sudah turun kasta setingkat Timor Leste dan Samoa.
Baca juga : Jokowi Resmi Umumkan Lokasi Ibu Kota Baru Indonesia di Kaltim
Ketiga, anggaran biaya yang berpotensi membengkak dua atau tiga kali lipat dari prediksi. Sebagaimana juga proyek kereta cepat Jakarta Bandung yang awal hanya beranggaran 60 Triliun, sekarang sudah 114 Triliun. Diragukan IKN "hanya" 500 Triliun. Artinya APBN bakal babak belur lagi. Debt trap menjadi konsekuensi dan niscaya.
Keempat, memindahkan ibu Kota dengan membangun dari nol bukan hal yang mudah. Yang realistis adalah pindah ke lokasi yang awalnya sudah menjadi Kota dengan potensi pengembangan. Lagi pula ke Penajam Kaltim berjarak sangat jauh dari Jakarta. Berimplikasi luas, termasuk perpindahan sumber daya manusia yang cukup rumit.
Kelima, ada kondisi psiko-politis yang dapat menghambat agenda, yaitu kekhawatiran daerah pemukiman baru di ibukota akan diisi oleh orang-orang yang dikategorikan "mampu membeli" dan dominan untuk itu bukanlah orang pribumi. Ibukota baru menjadi tempat migrasi baru untuk penguasaan area. New Singapore.
Keenam, dari sisi pertahanan dan keamanan Ibu Kota relatif lebih rawan. Berada di ruang yang kosong, bukan padat penduduk. Untuk sistem Pertahanan Rakyat Semesta sangatlah sulit diterapkan dan ancaman bahaya lebih besar mengingat jumlah TNI aktif yang dimiliki hanya 434 ribu. Berbeda dengan di Jawa, khususnya Jakarta dimana pengerahan kekuatan rakyat jauh lebih mudah dan murah.
Ketujuh, terhadap Ibu Kota lama yang ditinggalkan ternyata rencananya akan dilakukan jual-jual aset Pemerintah. Lalu siapa pembeli dari kekayaan negara ini? Apakah rakyat dari bangsa Indonesia yang disebut pribumi kah? Dipastikan tidak.
Pemindahan Ibu Kota diragukan urgensi dan ketepatan lokasi pilihannya. Meski partai-partai politik di parlemen telah dikuasai dan RUU IKN akan mudah disetujui oleh DPR RI, akan tetapi perlu direnungkan mendalam akan ketepatan putusannya. Situasi pandemi dan keuangan yang berat serta hutang luar negeri yang besar, sulit untuk difahami dan diterima proyek ambisius ini.
Ini adalah proyek Jokowi dan oligarki serta pemburu rente. Bukan proyek rakyat atau kepentingan bangsa dan negara.
Rakyat merasa lebih butuh pada program nyata kerakyatan ketimbang Ibu Kota baru.
Proyek Ibukota baru adalah penciptaan kesengsaraan baru. Batalkan saja.(BTL)
No comments:
Post a Comment