Sudah lama nggak menulis di blog ini. Terlalu banyak yang terjadi beberapa bulan ini.

Terlalu banyak yang berubah, terlalu banyak yang pergi.

Bulan lalu, Adit pergi.

Kabar itu datang tiba-tiba. Ketika saya dan Baits sedang berada di Seminyak.

Orang-orang yang sayang Adit pasti setuju, bahwa kabar ini terasa seperti petir yang menyambar di hari yang cerah.

Selama tiga hari saya tidak tahu caranya untuk berhenti menangisi kepergian Adit yang mendadak.

Kami sudah lama tidak berbicara. Mungkin sudah lebih dari satu tahun. Tapi rasa sakitnya tetap menyesakkan.

Terakhir kali saya dan Adit bertemu di Ubud. Tahun 2019. Waktu itu ia baru putus dari pacarnya.

Kami berbincang banyak. Makan Nasi Kedewatan Bu Mangku dan ice cream.

Adit yang baru putus, tapi saya yang banyak menceritakan tentang patah hati saya sendiri. Tapi tentu saja, Adit duduk dan mendengarkan saya.

Saya janji akan antar Adit ke airport pagi itu, tapi saya lagi-lagi masih sibuk meratapi hati yang remuk.

Hari kepergian Adit, saya duduk di pantai Batu Bolong sendirian.

Mengucapkan selamat tinggal kepada matahari yang tenggelam sore itu seolah-olah itu Adit.

Dulu saya sering kirim pesan ke Adit kalau lagi-lagi saya sedang patah hati.

Dengan quotes-quotesnya ia selalu berhasil membuat saya merasa lebih baik. Atau dengan editan foto dirinya yang ia beri tulisan di bawah fotonya. "Kemarin janji nggak nangis lagi". Atau dengan cerita panjangnya tentang pengalamannya sendiri menyembuhkan hatinya.

"Love yourself first Ki, then others" katanya suatu hari.

Hari itu hati saya lagi-lagi patah. Tapi bukan lagi karena kisah cinta monyet yang tak ada ujungnya. Tapi karena kawan baik saya pergi.

Dit, dulu kalau saya mau belajar untuk merelakan orang, kamu sepertinya orang paling tepat untuk didatangi

Sekarang, kalau orang yang harus saya relakan adalah kamu, kemana saya harus pergi?

Sudah satu bulan lebih sejak Adit pergi.

Dit, terimakasih sudah mengajari bahwa hidup itu memang singkat.

Aku dan Ebby tentu saja belum bisa ikhlas sepenuhnya.

Kadang-kadang kami masih rindu, diam-diam kami sering menangis tengah malam.
Jadi gini ya rasanya rindu yang tak terbalas.

Kadang-kadang kami masih suka berpura-pura bahwa kamu hanya sedang pergi ke Jepang.

Tempat yang sering kamu sebut rumah. Kamu pasti sedang berada disana.

Ebby baru melahirkan bayi laki-laki kemarin. Namanya Han.

Besok-besok, kalau luka kehilanganmu sudah sedikit kering, kami janji akan membawa Han bertemu kamu, omnya di tempat peristirahatan terakhirmu.

Dit, terima kasih sudah hadir di hidup kami.

Terima kasih untuk setiap makan siang bersama ketika kita masih sama-sama berjuang di Jakarta.

Terima kasih sudah mengajari kami bahwa kehilangan itu berat rasanya.

Tapi kamu juga yang mengajari kami boleh menangisimu, tapi tidak untuk selamanya.

Karena kamu pasti sudah baik-baik saja di sana.

Salam rindu


This free site is ad-supported. Learn more