Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan) MediaBantenCyber.co.id - (MBC) Bandung, Uganda berduka karena satu-satunya Bandara Internasional Entebbe diambil alih oleh negara China setelah pinjaman Bank Exim China kepada Pemerintah Uganda tidak mampu terbayarkan. Presiden Yoweri Musevini GAGAL menegosiasikan pembayaran kepada Beijing, sementara Menteri Keuangan Matia Kasaija meminta maaf kepada Parlemen atas "SALAH MENANGANI" hutang. Padahal jangka waktu pinjaman baru 6 tahun terhitung 2015._____Baca Juga : Presiden Joko Widodo Instruksikan Polri Tindak Tegas Mafia Tanah!
Pemerintahan Jokowi menjadi rezim gemar berhutang yang sebagian besarnya digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur. Ambisi besar tenaga kurang sangat membahayakan kedaulatan. Proyek Kereta Cepat China dan pemindahan Ibukota mengancam dan dapat menjadi beban sangat berat.
Lepasnya 49 % saham Bandara Kualanamu ke pihak India adalah sinyal buruk. Otoritas pengelolaan telah bergeser. Ini menyangkut penggerusan kedaulatan negara atas pelabuhan udara. Perpres No 32 tahun 2O20 tentang Pembiayaan Infrastruktur Melalui Hak Pengelolaan Terbatas membuka peluang bagi badan hukum asing untuk mengelola aset negara.
Baca Juga : Cara Presiden Joko Widodo Membagikan Bansos Kepada Rakyat Tuai Kritikan
Ketika rakyat tak berdaya untuk mencegah, maka posisinya hanya melihat kerja yang dilakukan oleh Pemerintah. Dengan tingkat kepercayaan rakyat rendah para Menteri Kabinet Jokowi menunjukkan kinerja yang belepotan. Koordinasi Presiden juga buruk. Menteri Keuangan tak bisa menutupi fakta atas ketidakmampuan atau kegagalannya. Citra sebagai Menteri Keuangan yang hebat telah pupus.
Mengapa Presiden Joko Widodo potensial untuk diadili, karena :
Pertama, sebagai Kepala Pemerintahan telah gagal menjaga perkembangan ekonomi yang mampu menyejahterakan rakyat, bahkan hutang telah mencapai 6000 triliun. Aset negara dijual - jual, BUMN bangkrut, serta tanah negara yang dibagi-bagi dan dikuasai oleh segelintir pemodal.
Kedua, pelanggaran hak asasi manusia yang terang-terangan dan berulang-ulang. Terakhir proses peradilan HRS yang bermotif politik dan dipaksakan, penangkapan Advokat Munarman, Ustad Farid Okbah, DR Ahmad Zein An Najah, dan DR Anung Hilmat. Termasuk penganiayaan dan pembunuhan brutal 6 anggota Laskar FPI. Kasus pelanggaran HAM itu melekat terus meski Jokowi nantinya sudah tidak menjabat lagi sebagai Presiden.
Baca Juga : Media Siber Daerah Rame-rame Tolak 'Berkah Presiden Joko Widodo' KPCPEN Kominfo
Ketiga, soal Ibukota baru serius harus dipertanggungjawabkan apalagi jika skemanya "bumi hangus" DKI Jakarta. Nilai penjualan aset negara di Jakarta sudah diperkirakan Kemenkeu 1100 Triliun. Ternyata pemindahan itu bukan sebagai penambahan dan pengembangan kota justru membunuh kehidupan kota yang sudah tumbuh.
Baca Juga : Tanyakan Kepada Rakyat Melalui Referendum, Presiden Joko Widodo Itu Pembual Atau Berprestasi?
Seluruh proyek investasi khususnya yang berskala besar seharusnya diikuti dengan audit keuangan atas para pejabat terkait, termasuk proyek kesehatan di masa pandemi. Penambahan kekayaan patut dicurigai. Pengawasan atas korupsi, kolusi, dan nepotisme saatnya digalakkan kembali. Kondisi pemerintahan kini disinyalir lebih rawan dan parah dibandingkan sebelumnya.
Belajar dari Menteri Keuangan Uganda Maria Kasaija yang meminta maaf kepada Parlemen atas kesalahan dari pengelolaan keuangan, maka sebaiknya Presiden Joko Widodo segera meminta maaf kepada rakyat atas amburadulnya pengelolaan negara. Sebelum terlambat. Lalu mengundurkan diri.
Bangsa Indonesia mungkin akan memaafkan dan menerima kesadaran dan pertanggung-jawaban Presiden tersebut. Akan tetapi jika kesadaran tersebut tidak ada dan terus menutupi berbagai kelemahan yang ada, bukan mustahil selesainya jabatan Presiden mendatang justru menjadi awal dari kesulitannya dalam menghadapi proses hukum. Rakyat akan mendesak.(BTL)
No comments:
Post a Comment