Oleh: Dr. Fahri Bachmid, S.H,M.H. (Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia/ UMI Makassar) MediaBantenCyber.co.id - (MBC) Jakarta, Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. berpendapat bahwa rencana amandemen konstitusi (UUD tahun 1945) yang di Endorse oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo beberapa hari belakangan ini adalah sesuatu yang normal dan lazim saja, tidak ada yang luar biasa, itu seperti "academic discourse" yang harus dilihat secara objektif.
Fahri Bachmid berpendapat bahwa memang ada persoalan besar dan riskan yang sebenarnya belum sepenuhnya mendapat jalan keluar dari konstitusi saat ini, jika keadaan yang demikian itu terjadi, misalnya secara akademik, dalam UUD 1945 telah dengan tegas mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun.
pengaturan yang sebangun dengan itu adalah masa jabatan anggota DPR, DPD, DPRD, Menteri adalah lima tahun, karena itu ketentuan Pasal 22E UUD 1945 tegas mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan lima tahun sekali, maka menjadi pertanyaan teoritik adalah jika sekiranya terjadi sebuah keadaan-keadaan yang membuat kesinambungan kepemimpinan bangsa dan negara terhenti baik karena adanya bencana alam yang dahsyat, adanya pandemi, adanya pemberontakan dan kerusuhan atau krisis keuangan, maka keadaan-keadaan demikian mungkin saja dapat diatasi oleh presiden dan wakil presiden dengan menyatakan keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Baca Juga : Waspadai Dialektika Politik Amandemen UUD 1945
Presiden masih dapat mengatasi hal tersebut, namun demikian, bagaimana sekiranya apabila terjadi situasi di mana presiden dan wakil presiden, berikut triumvirat (Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan) beserta jajaran yang lain lumpuh atau berhalangan tetap secara serentak sehingga situasi keadaan bahaya itu sama sekali tidak dapat diatasi oleh organ-organ konstitusional yang ada, atau keadaan darurat negara sehingga pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya tepat pada waktunya sesuai perintah konstitusi.
Maka secara hukum tentunya tidak ada presiden dan/atau wakil presiden yang terpilih sebagai sebuah produk Pemilu, sehingga keadaan demikian, timbul pertanyaan siapa yang punya kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? dengan demikian saya berpendapat bahwa UUD 1945 harus dapat memberikan jalan keluar secara konstitusional untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan "konstitusional dead lock" jika situasi seperti itu benar-benar terjadi.
Sehingga salah satu materi amandemen kelima adalah terkait hal itu, dan secara akademis, lembaga MPR yang diisi oleh anggota-anggota DPR dan DPD yang kesemuanya adalah produk pemilihan umum sebagai wujud kedaulatan rakyat "sovereignty" maka prinsip kedaulatan rakyat itulah yang harus dikedepankan untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut.
Atas dasar itu, sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat Rakyat, maka MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan serta kewajiban hukum untuk mengambil keputusan dalam rangka mengatasi keadaan bahaya tersebut, itulah keniscayaan konstitusional yang dapat dilakukan dengan instrumen amandemen kelima UUD 1945.
Fahri Bachmid berpendapat, bahwa dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945 memang dibutuhkan suatu sikap kehati hatian yang tinggi, oleh karena sangat potensial materi perubahan itu dapat membuka kotak pendora, serta menyasar kemana mana, sehingga proses akandemen menjadi tidak fokus serta akan potensial menyasar pada isu-isu yang telah selesai, misalnya isu masa jabatan presiden yang sebenarnya tidak perlu lagi dibicarakan lagi.
Sesungguhnya yang paling esensial dalam amandemen ini adalah terkait dengan isu organ konstitusional seperti MPR diatribusikan dengan kewenangan mengatasi keadaan darurat negara; kemudian penguatan DPD RI serta perlu di adopsinya pengaturan terkait PPHN sebagai dokumen otoritatif arah berbangsa dan bernegara, selebihnya harus dibatasi secara tegas.
Fahri Bachmid berpendapat bahwa hendaknya amandemen konstitusi (UUD 1945) jangan dilakukan oleh anggota MPR yang ada saat ini, tetapi kalaupum amandemen mau dilakukan harus dengan MPR hasil Pemilu tahun 2024, agar tingkat legitimasi politiknya lebih tinggi serta proses perubahan dilakukan dalam keadaan tenang serta kondusif, agar pandangan serta pikiran-pikiran konstitusionalisme benar benar muncul tanpa ada agenda jangka pendek, serta pragmatis, amandemen harus ideal dengan memandang bahwa kebutuhan perubahan (amandemen) UUD 1945 bertujuan untuk bernegara dalam jangka waktu yang panjang, tutup Dr. Fahri Bachmid.(BTL)
No comments:
Post a Comment