Oleh: Al Ghozali Hide Wulakada MediaBantenCyber.co.id - (MBC) Jakarta, Beberapa waktu sebelum Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, menguat permasalahan reklamasi teluk Jakarta yang melibatkan salah satu Menko dan Gubernur DKI Jakarta ketika itu adalah Ahok. Celotehan Ahok yang menista Al Qur'an berlanjut jadi aksi demonstrasi besar-besaran lalu mengerucut pada dukungan ARB yang bersama rakyat menyatakan penolakan terhadap reklamasi teluk Jakarta.________________Baca Juga : Pulau Rempang Adalah Sesajen Agar China Mau Buang Kotoran di Indonesia
Ketika ARB memenangkan Pilkada lalu menjabat Gubernur, ARB benar-benar mencabut izin prinsip 13 pulau buatan di teluk Jakarta. Rangkaian peristiwa pembelaan itu pula lah yang menjadi keluar kata 'pribumi'oleh ARB pada saat pidato kemenangannya.
Kini situasinya berulang dengan objek kampung tua Rempang di Batam. Para subjek hukumnya serupa yaitu Ahok berganti JKW, Pak Menko masih terkait, relasi dengan investor China masih juga terkait, gelombang suku betawi kini bergantung suku Melayu.
Ingat pidato JKW pada tanggal 7 April 2019 di Batam, dengan lantang JKW berjanji kepada suku Melayu bahwa akan menerbitkan sertifikat tanah yang masih tumpang tindih menjadi atas nama warga dan membangun jembatan penghubung antara kepulauan Bintan dan Kota Batam.
Baru beberapa hari yang lalu, JKW dengan santainya mengatakan bahwa masalah di Rempang hanya karena masalah kesalahan komunikasi. Bagaimana bisa sosok seperti itu masih dipercaya saat ini yang terus menerus melakukan endors terhadap dua Capres lainnya yaitu GP dan PSB.
Peristiwa Rempang juga tidak luput dari jejak-jejak bisnis pribadi Mentri BUMN dan Menko marinves dibalik penggusuran pemukiman tua Melayu di Pulau Rempang. Jejak ini lah yang tampaknya membuat pemerintah betul-betul all out bahkan Panglima TNI pun turun tangan.
Sejauh ini, masyarakat melayu dan para pendukungnya masih bernyali besar hadapi ancaman dari aparat keamanan atas nama Pemerintahan JKW. Pokok persoalan terletak pada pembangunan pembangkit listrik tenaga surya di perairan Batam yang akan di mulai pada tahun 2024, sesuai perjanjian Indonesia dengan Singapura, seluruh produksi listrik PLTS ini diekspor ke Singapura melalui kabel bawah laut.
Proyek ini adalah patungan antara konsorsium Indonesia yang terdiri dari Adaro Group milik keluarga ET yang sekarang dipimpin oleh Boy Thohir sebagai kaka kandung dari Mentri BUMN,TBS Energi Utama milik Menko Marinves LBP dan Menko ESDEM,Salim Group dan keluarga Panigoro. Sedangkan dari Singapura adalah CAPEL & CO PTE. LTD,sebuah perusahaan pengelola aset berskala internasional. Pemasok panel surya projek ini adalah Xinyi Grup dari cina yang kabarnya akan berinvestasi 360 T. Xinyi Grup akan membangun pabrik di pulau Rempang Batam.
Semua itu menjelaskan kenapa pemerintah sangat terburu-buru,beringas dan super keras memerangi perlawanan rakyat khusunya warga suku Melayu.
Kekhawatiran paling besar ialah bilamana ARB nanti menang di Pilpres 2024 maka,mega projek yang memberangus hak warga suku melayu akan tutup buku. Karena ARB sudah dipastikan memiliki pandangan berbeda,secara politik tidak terkait dengan persekongkolan tersebut maka,ARB tidak segan-segan akan membatalkan projek ini,serupa ARB membatalkan mega projek reklamasi teluk Jakarta. Karena ARB terbukti memiliki keberpihakan terhadap warga negara. ARB juga terbukti memiliki nyali melawan totaliter kekuasaan utama,investor asing dan sekelompok pengusaha yang merangkap sekaligus sebagai penguasa.
ARB dengan para Partai pendukungnya telah tegas menyatakan penolakan rencana penggusuran kampung tua Rempang. Pernyataan ARB dan PKS bukan lah yang pertama dalam sejara politik,mereka terbukti jauh lebih cepat dan unggul pembelaannya dalam urusan begini. Jauh sekali bilang dibandingkan dengan GP dan PSB hanya sebatas wacana dalam soal pembelaan dan keberpihakan terhadap hak-hak agraria dan lingkungan hidup. Keadaan serupa tidak hanya melanda Rempang Batam,banyak sekali kasus serupa juga terjadi di berbagai tempat seperti Maluku, Papua, NTT, Kalintan.
Masyarakat non Melayu di seluruh Indonesia,sudah seharusnya terpanggil nasionalismenya untuk menyatakan tidak memilih Capres yang terkait langsung atau tidak langsung dengan rezim yang sedang berkuasa saat ini. Karena sudah dipastikan dibalik panggung kekuasaan mereka,selalu ada transaksi dan kesepakatan-kesepakatan yang menggadaikan hak warga negara.
Manajemen rezim ini super despotism, menggunakan jalan demokrasi untuk melanggar demokrasi. Rezim ini mengelola state rezim berkolaborasi dengan privat rezim, mereka anti common rezim, rezim ini menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada kelompok elit lalu mengambil insentif yang tidak seberapa untuk memelihara rakyat kecil.(BTL)
No comments:
Post a Comment